Panjimas.com – Pertanyaan: “Saya berasal dari pulau Jawa,kemudian karena pekerjaan,saya ditugaskan di Banda Aceh dan belum tahu berapa lama saya akan tinggal. Apakah selama saya di Banda Aceh,saya adalah musafir yang mendapatkan rukhsoh/keringanan dalam shalat?(Eko Sutarno-Kebumen)
Jawaban:Dalam masalah ini,para Ulama banyak yang berbeda pendapat tentang sampai kapan seseorang dianggap sebagai seorang musafir dan di beri rukhsoh dalam melaksanakan shalat
Sebagian ulama berpendapat ada batasan tertentu untuk musafir dan sebagian lainnya berpendapat tidak ada batasan bagi musafir selagi ia masih mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya meski ia merantau selama bertahun-tahun
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin:
“Permasalahan ini adalah termasuk permasalahan perbedaan pendapat yang banyak sekali pendapat-pendapat di dalamnya sehingga terdapat lebih dari dua puluh pendapat dari para ulama. penyebabnya adalah tidak ada di dalamnya hadist yang shahih dan kuat yang bisa menyelesaikan perselisihan”.
(As-Syarhul Mumti’ Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Jilid 4 halaman 374)
Beliau menambahkan:
“Akan tetapi apabila kita kembali kepada yang sesuai dengan apa yang tampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita akan mendapati bahwasanya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah pendapat yang shahih(benar), yaitu bahwasanya musafir tetap dianggap musafir, baik ia berniat tinggal lebih dari empat hari atau kurang dari empat hari. Yang demikian ini adalah karena keumuman dalil-dalil yang menjadi dasar atas di tetapkannya keringanan-keringanan bagi musafir tanpa batasan. Allah tidak memberi batasan dalam ayat Al-Qur’an, demikian pula Rasulullah tidak memberi batasan waktu tertentu yang menjadikan terputusnya hukum safar”
(As-Syarhul Mumti’ Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Jilid 4 halaman 375)
Beliau menambahkan
“Pendapat yang rajih(benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,yaitu bahwasanya musafir tetaplah musafir selama ia tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1. Tinggal secara mutlak
2. Menetap
Perbedaan keduanya adalah:
Orang yang menetap adalah orang yang berniat menjadikan tempat tersebut sebagai negeri tempat tinggalnya.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya.
Adapun orang yang membatasi tinggalnya dengan suatu pekerjaan yang akan selesai (maksudnya pekerjaan akan selesai dalam jangka waktu tertentu) atau waktu yang akan selesai (maksudnya waktunya telah ditentukan dan telah diketahui batasnya), maka ini adalah tetap musafir dan tidak terlepas darinya hukum-hukum safar”.
[As-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Jilid 4 halaman 378).
Wallahu a’lam.[Husain Fikry/S.A]