(Panjimas.com) – Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam senatiasa kita haturkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Beberapa hari ini Umat Islam di seluruh dunia dihebohkan dengan berdirinya sebuah khilafah baru, setalah hampir satu abad (90 tahun) kosong dari kekhilafahan.
Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani Asy-Syami, juru bicara resmi mujahidin Daulah Islamiyah Iraq & Syam (ISIS) melalui rilis media Al-Furqan menyatakan dihapusnya ISIS dan mendeklarasikan Khilafah Islamiyah dibawah Amirul Mukminin Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi.
Untuk itu penting kiranya menjelaskan secara singkat tentang pembahasan mengenai kekhilafahan itu sendiri agar kita bisa menilai dengan obyektif kedudukan khilafah yang baru saja dideklarasikan tersebut.
Pembahasan Singkat tentang Khilafah
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Rabmu berfirman kepada para Malaikat:,“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.” (Al-Baqarah : 30)
Al Imam Al Qurtubi menafsirkan ayat ini, “ayat ini adalah dasar dari pengngkatan imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, supaya terkumpulnya kalimat dan terlaksana perintah khalifah, dan tidak ada perselisihan dalam kewajiban hal itu di antara umat ini dan tidak pula di antara para imam, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Ashamm; di mana dia itu tuli dari syari’at ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 1:264)
Apa itu Khilafah dan Imamah?
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya .
Makna khilafah menurut Ahli Lughah adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (jaa`a ba’dahu fa-shaara makaanahu) (Al-Mu’jam Al-Wasith, I/251).
Menurut Al-Imam Al-Juwaini, Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh (riyasah taammah) sebagai kepemimpinan yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Ghiyats Al-Umam hal 22)
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا, و عقدها لمن يقوم بها في الأمة واجب بالإجماع
“Kepemimpinan diadakan untuk menggantikan kenabian dalam hal menjaga agama dan mengatur dunia. Dan mengangat seorang pemimpin dalam umat adalah wajib secara ijma’”. (Al-Ahkam Ash- Shulthaniyyah hal 5)
Syarat Khalifah
Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Ash-Shulthaniyyah menyebutkan tujuh syarat yang harus terpenuhi bagi seorang khalifah,
- Al’adalah (adil), yaitu lurus peranginya serta menjahui perbuatan fasiq dan fujur.
- Berilmu, agar mampu berijtihad untuk menetukan hukum.
- Sehat panca indra.
- Anggota badan tidak cacat, yang menghalangi dia bertindak cepat.
- Memiliki pandangan serta visi yang baik dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi rakyat.
- Berani dalam melindungi rakyat dan memrangi musuh.
- Quraisy.
Tentang syarat Quraisy, Al Imam Al-Mawardi menjelaskan bahwa dikarenakan adanya nash tentang hal itu dan telah terwujudnya ijma’ ulama tentang masalah tersebut.
Selain itu, beliau menjelaskan bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq berdalil pada hari Saqifah di hadapan kalangan anshar, saat ia menolak tindakan mereka yang membai’at Sa’ad bin Ubadah untuk memangku jabatan Khalifah, dengan sabda Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa Sallam,
الأئمة من قريش
“Para pemimpin adalah dari kalangan suku Quraisy” (HR Ahmad).
Bagaiamana Khalifah Diangkat?
Adapun pengankatan khalifah terwujud dengan dua cara,
Pertama, dipilih oleh ahlul halli wal ‘aqdi, yaitu orang yang memegang urusan dari ulama, pemimpin, tokoh dan pemuka kaum, yang terpenuhi tiga syarat, adil, berilmu, dan memiliki kebijaksanaan dan pandangan yang membuat dirinya mampu menentukan imam yang lebih bermasalahat.
Kedua, Wilayatul’ Ahd, yaitu wasiat dan penunjukan yang dilakukan khlaifah sebelumnya.
Dua Syarat ini yang disebutkan Al-Mawardi dalam kitabnya, adapun ulama’ lainnya ada yang menambahkan cara lain yaitu, al-qahru wal ghalabah, yakni perebutan kekuasaan dengan kekuatan senjata.
Bagaimana disebut khilafah, padahal seluruh muslimin belum membaiatnya?
Tidak disyaratkan dalam pengangkatan khalifah, dibaiat oleh seluruh kaum muslimin, bahkan tidak semua ahlul halli wal Aqdi, Al-Imam An-Nawawi berkata dalam mengomentari keterlambatan Ali bin abi Thalib membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq,
ومع هذا فتأخره ليس بقادح في البيعة ولا فيه، أما البيعة فقد اتفق العلماء على أنه لا يشترط لصحتها مبايعة كل الناس ولا كل أهل الحل والعقد، وإنما يشترط مبايعة من تيسر اجتماعهم من العلماء والرؤساء ووجوه الناس
Adapun keterlambataan Ali dalam baiat, bukan celaan atas baiat dan atasnya, “Adapun bai’at, maka para ulama telah sepakat bahwa untuk keabsahannya itu tidak disyaratkan pembai’atan seluruh manusia dan tidak (disyaratkan) juga (pembai’atan) seluruh Ahlul Halli wal ‘Aqdi, namun yang disyaratkan itu hanyalah pembai’atan orang-orang yang bisa tercapai kesepakatan mereka itu, dari kalangan ulama, para pemimpin dan para tokoh masyarakat.”( Syarh Shahih Muslim 12:77).
Al-Imam Al- Qurthubi berkata,
فَإِنْ عَقَدَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ فَذَلِكَ ثَابِتٌ وَيَلْزَمُ الْغَيْرُ فِعْلَهُ، خِلَافًا لِبَعْضِ النَّاسِ حَيْثُ قَالَ: لَا تَنْعَقِدُ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَدَلِيلُنَا أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَقَدَ الْبَيْعَةَ لِأَبِي بَكْرٍ وَلَمْ يُنْكِرْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ ذَلِكَ
“Maka meskipun hanya dibaiat satu orang dari Ahlul Halli wal Aqdi, maka hal itu telah sah, dan lazim bagi yang lain untuk melaksanakannya, hal ini berbeda dengan yang mengatakan, “tidak sah baiat kecuali dengan sejumlah besar Ahlul Halli wal aqdi.” Dalil kami, Umar membaiat Abu Bakar dan tidak ada yang mengingkarinya.” (Al-Jami’ li ahkamil Qur’an 1:269).
Sikap Kaum Muslimin ketika Tegak Khilafah
Jika telah terwujud khalifah, yang terpenuhi pada dirinya syarat- syarat yang diterangkan ulama’, dan telah dibaiat oleh orang- orang khusus (ahlul halli wal ‘aqdi), maka lantas apa yang dilakukan muslimim secara umum?
Syaikh Abu Ja’far Al-Haththab dalam Baiatul Amshar lil Imam Al-Mukhtar, menggolongkan baiat semacam ini dalam baiat umum terhadap urusan umum, Yaitu bai’at umum kaum muslimin kepada imam yang telah dibai’at oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
Telah mutawatir atsar-atsar yang menunjukan bai’at semacam ini, yaitu bai’at orang-orang umum kepada imam, kami sebutkan sebagiannya:
Bai’at masyarakat umum kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu (tahun 11H).
Dari Anas Ibnu Malik radliyallahu ‘anhu,“Bahwa ia mendengar khutbah Umar yang terakhir saat duduk di atas minbar, dan itu keesokan hari dari hari wafat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Umar bertasyahhud sedangkan Abu Bakar diam tidak bicara, berkata: Saya dahulu berharap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup sehingga beliau mengatur kita – maksudnya ia menginginkan beliau itu yang paling akhir – bila Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan di tengah kalian cahaya yang dengannya kalian mengambil petunjuk dengan petunjuk yang Allah ajarkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya Abu Bakar adalah yang selalu menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi salah satu dari dua orang (yang di dalam gua Tsaur), sesungguhnya ia adalah orang yang paling layak memimpin kalian, maka bangkitlah kalian dan berikanlah bai’at kepadanya, sedangkan sekelompok dari mereka telah membai’atnya sebelum itu di Saqifah Bani Sa’idah, dan bai’at keumuman masyarakat adalah di atas mimbar.” (H.R, Bukhari)
Maka Bai’at ‘Aammah adalah wajib lagi mengikat semua mukallaf yang baligh lagi berakal, di dalam Ash Shahihain dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا مات نَبِيٌّ قام نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَيْسَ بَعْدِي نَبِيٌّ، فقال رجل: ما يكون بعدك يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ خُلَفَاءُ، وَيَكْثُرُون، قَال فَكَيْفَ تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قال أدوا بَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وأدوا إليهم ما لهم فإن الله سائلهم عن الذي لكم
“Sesungguhnya Bani Israil dahulu mereka itu dipimpin oleh para nabi, setiap kali seorang nabi mati maka digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku,” Seorang pria berkata: Apa yang ada setelahmu wahai Rasulullah? Beliau berkata: “Para khalifah, dan mereka akan banyak,” Pria itu berkata: Maka bagaimana yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah? Beliau berkata: “Tunaikanlah bai’at (khalifah) yang pertama kemudian begitu seterusnya, dan tunaikanlah apa yang menjadi hak mereka karena sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada mereka tentang hak kalian.” Dan dalam riwayat Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mencabut tangan dari ketaatan, maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, maka dia mati dengan kematian jahiliyyah.”.
Al Khaththabiy berkata: “(barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, maka dia mati dengan kematian jahiliyyah), dhahirnya adalah kewajiban menerima dan tunduk kepada imam yang telah dibai’at oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi, kecuali bila seluruh kaum muslimin datang kepada imam di negerinya terus membai’atnya, wallaahu a’lam.” (Mawaahib Al Jaliil 6/278).
Asy Syaukaniy berkata: “Bila telah jelas dihadapanmu apa yang kami jelaskan tadi, maka orang yang telah dibai’at oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi ini adalah telah wajib atas semua penduduk negeri yang di bawah genggaman larangan dan perintahnya untuk mentaatinya. Berdasarkan dalil-dalil mutawatir, dan wajib atas mereka untuk berbuat tulus kepadanya sebagaimana yang telah ditegaskan oleh hadits-hadits nashihat (ketulusan) kepada Allah dan kepada para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum mereka.” (As Sailul Jarrar 4/513). [AH]