PANJIMAS.COM – Pertanyaan; Bagaimana dengan wanita yang hamil lalu melahirkan, apakah puasanya diganti atau hanya bayar fidyah?
Jawaban:
Di antara kemudahan dalam syari’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui,jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (HR.Ahmad 4/347)
Qadha atau Fidyah
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara wanita yang hamil atau wanita yang menyusui mengganti puasanya yang ditinggalkan. Apakah mereka menggantinya dengan berpuasa qadha’, ataukah mereka cukup membayar fidyah saja ?.
Sebab hanya dikenal dua macam penggantian, yaitu puasa qadha’ di hari lain, dan membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Ibnu Katsir menyebutkan didalam tafsirnya,
ففيهما خلاف كثير بين العلماء، فمنهم من قال: يفطران ويفديان ويقضيان. وقيل: يفديان فقط، ولا قضاء. وقيل: يجب القضاء بلا فدية. وقيل: يفطران، ولا فدية ولا قضاء
“Bahwa untuk kedua permasalahan ini terdapat khilaf diantara ulama; sebagian berpendapat mereka harus membayar fidyah dan mengganti puasanya, sebagian berpendapat cukup hanya dengan membayar fidyah saja, ada juga yang berpendapat wajib bagi mereka qadha’ saja, dan ada juga yang lebih ekstrim lagi; tidak fidyah tidak juga qadha’.”(Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim 1:501)
Perbedaan pendapat di kalangan ulama itu didasari pada perbedan pendapat di antara mereka dalam menggolongkan wanita yang hamil dan wanita yang mengusui.
-Seperti Orang Sakit
Pendapat pertama mengatakan bahwa mereka digolongkan kepada orang sakit. Sehingga cara penggantian puasanya harus sebagaimana orang yang sedang sakit, yaitu dengan cara berpuasa qadha‘ di hari lain. Ini pendapat Imam Al Auzai, Imam Ats-Tsauri, Abu Hanifah.
-Seperti Orang Tidak Mampu
Pendapat kedua menyebutkan bahwa para wanita yang sedang hamil dan sedang menyusui tidak bisa disamakan dengan orang sakit, karena pada dasarnya mereka bukan orang sakit. Mereka lebih tepat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang tidak kuat atau mampu, seperti orang yang sudah tua bangka atau jompo.
Untuk itu orang-orang yang tidak mampu berpuasa itu tidak mengganti dengan berpuasa di hari lain. Namun cukup bagi mereka membayar fidyah, memberi makan kepada fakir miskin. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Sebagaimana mereka yang sudah lanjut usia, karena lemah fisiknya mereka dibolehkan berbuka dan mereka diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa harus mengganti puasa dihari lainnya, pun begitu dengan ibu hamil dan menyusui mereka hanya diminta membayar fidyah juga.
Sebagaimana firman Allah berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta perempuan hamil untuk berbuka dibulan puasa dan berkata:
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام، فافطري، وأطعمي، عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Kalian seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa, maka berbuka saja, dan berilah makan orang miskin (membayar fidyah) disetiap hari yang ditinggalkan setengah sho’ dari hinthah”
-Pendapat Ketiga
Adapun pendapat ketiga yang mengatakan wajib bagi wanita hamil dan menyusui Qadha dan Fidyah, maka mereka menyamakan dengan orang sakit dan tidak mampu, pendapat ini didukung Madzhab Syafiiyah.
Apa Yang Mendorongnya Berbuka?
Ada yang menarik dari pendapat ulama’dalam hal ini,yaitu dengan melihat alasan wanita berbuka.
Bila motivasi tidak puasanya karena khawatir akan kesehatan atau kekuatan dirinya sendiri, bukan bayinya, maka dirinya disetarakan dengan orang sakit.
Untuk itu dia mengganti dengan berpuasa di hari lain alias mengqadha’ puasa.
Adapun bila jelas-jelas kekhawatirannya juga berkait dengan anak yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya, maka selain mengganti dengan puasa, juga membayar fidyah.
Lalu kita pilih pendapat yang mana?
Namun kadang sebagai orang awam kita kebingungan dalam memilah perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Berikut kami sajikan fatwa beberapa ulama’kontemporer dalam hal ini.
1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Beliau pernah ditanya, “Tentang wanita hamil, apabila ia khawatir atas dirinya atau khawatir atas anaknya lalu berbuka (tidak berpuasa), apa hukumnya?”
Beliau menjawab:
“Jawaban kami atas pertanyaan ini, kami katakan: Wanita hamil tidak lepas dari dua kondisi: Pertama, ia sehat dan kuat yang tidak merasa berat dan tidak berpengaruh buruk pada janinnya. Maka wanita ini wajib berpuasa karena ia tidak memiliki udzur untuk meninggalkan puasa.
Kondisi kedua, wanita hamil tidak mampu menjalankan puasa, baik karena beratnya kehamilannya, lemahnya pada fisiknya, atau sebab lainnya. Dalam kondisi ini ia berbuka, terlebih lagi apabila bahayanya mengancam janinnya, maka dalam kondisi seperti ini ia wajib berbuka (tidak puasa). Dan apabila berbuka, ia seperti yang lainnya dari orang yang berbuka karena udzur, yakni wajib atasnya mengqadha’ puasa saat udzur itu telah hilang dari dirinya.
Jika ia telah melahirkan, wajib atasnya mengqadha puasa setelah suci dari nifas. Tetapi, biasanya, hilangnya udzur hamil diikuti udzur lain, yaitu menyusui. Wanita menyusui membutuhkan makan dan minum terlebih saat musim panas yang siangnya lebih panjang, panasnya begitu menyengat, ia butuh untuk berbuka untuk memenuhi makanan bagi anaknya melalui air susunya. Dalam kondisi seperti ini kami katakan: Berbukalah, dan apabila telah hilang udzur darimu, qadha’lah (bayarlah) puasa yang telah engkau tinggalkan.” (Fatawa As-Shiyam 162)
2. Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Hukum wanita hamil yang berat baginya berpuasa, maka hukumnya seperti orang sakit, begitu juga wanita menyusui, keduanya boleh berbuka dan wajib baginya qadha’, sebagaimana kalam Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian sahabat Rasulullah berpendapat bahwa baginya Ith’am ( memeberi makan/fidyah), tetapi yang lebih tepat pendapat pertama (qadha’), karena hukumnya hukum sakit, karena asalnya wajib qadha’ dan tidak ada dalil yang menentangnya, diriwayatkan Anas bin Malik Al-Ka’bi
إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Maksudnya keduanya berbuka dan mengqadha’ sebagaimana musafir. Para ulama menyebutkan, keduanya tidak boleh berbuka kecuali apabila terlalu berat kalau tetap berpuasa seperti orang sakit; atau jika keduanya khawatir atas anaknya, wallahu a’lam . (Majmu Fatawa bin Baz 15:223-224)
Namun karena wilayah ini adalah wilayah khilaf diantara ulama, maka hendaknya kita sikapi dengan luwes saja. Bagi mereka yang meyakini bahwa qadha adalah pendapat yang lebih kuat, tentunya tidak boleh menyalahkan jika ada diantara kita yang menilai bahwa pendapat yang lain lebih kuat, begitu pula sebaliknya. Wallahu A’lam [AH]