PANJIMAS.COM – Dalam keadaan tertentu, syariah Islam memberikan keringanan kepada orang–orang tertentu dan membolehkan mereka untuk tidak berpuasa dan dengan tidak berdosa. Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad Shallallhu ‘alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain. Bagi mereka yang tidak mampu, maka boleh tidak berpuasa dengan keharusan memberi makan kepada orang-orang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
Diatara yang diberi udzur untuk meninggalkan puasa dari ayat di atas adalah orang sakit. Keringanan ini maksudnya boleh tidak puasa dan tidak berdosa sama sekali, karena keringanan ini memang datang dari sisi Allah Ta’ala, sebagai pihak pembuat syariat.
Batasan Sakit
Tidak semua sakit diperbolehkan meninggalkan puasa, ulama mendefisinikan sakit dengan:
كل ما خرج الإنسان عن حد الصحة عن علة
“Sakit adalah segala hal yang membuat manusia keluar dari batas kesehatan karena suatu alasan.”
Ada dua kriteria sakit yang diperbolehkan berbuka:
a. Khawatir Bertambah Parah Bila seseorang khawatir bila dia terus berpuasa, penyakitnya akan bertambah parah, maka dia dibolehkan untuk tidak berpuasa.
Seperti orang yang menderita penyakit yang parah atau penyakit dalam, yang kondisinya memang sangat lemah, bahkan harus selalu dipasok nutrisinya lewat selang infus dengan dimasukkan glukosa. Maka orang yang dalam keadaan seperti ini, kalau memaksakan diri untuk terus berpuasa penyakitnya justru akan semakin parah.
b. Khawatir Terlambat Kesembuhannya
Alasan yang kedua ini berbeda dengan alasan yang pertama. Kalau yang pertama di atas khawatir bertambah parah, sedangkan alasan yang kedua ini, bukan khawatir bertambah parah, tetapi khawatir tidak kunjung sembuh karena berpuasa.
Allah Berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagi kalian.”
Salah satu prinsip yang perlu dipahami ketika kita bicara tentang ibadah, adalah prinsip kemudahan (al ushulut taisir). Allah Ta’ala tidak zalim dalam menetapkan kewajiban ibadah kepada manusia. Dia menetapkan kewajiban ibadah selaras dengan kesanggupan hamba-Nya. Pada dasarnya, ibadah itu bukan untuk Allah, sebab Dia Maha Kaya.
Adapun sakit ringan yang puasa tidak berpengaruh terhadap penyakitnya seperti, pilek, sakit gigi, maka tidak diperbolehkan berbuka.
Orang yang meninggalkan puasa karena sakit, maka wajib baginya mengganti pada hari yang lain, setelah sembuh dari penyakitnya.
Sebelum disempurnakan syariat puasa, orang yang sakit kemudian tidak berpuasa, cukup menggantinya hanya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin. Memang saat itu yang pertama kali turun adalah ayat berikut,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Bagi mereka yang tidak mampu, maka boleh tidak berpuasa dengan keharusan memberi makan kepada orang-orang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
Namun setelah disempurnakan maka kewajiban baginya mengagnti sejumah hari yang ditinggalakn setelah kesembuhannya, hal ini diterangkan hadits yang diriwayatakan Salamah bin Akwa’,
لما نزلت: { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ }. «كان من أراد أن يفطر ويفتدي، حتى نزلت الآية التي بعدها فنسختها. شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Ketika turun ayat ini, “Dan bagi orang-orang yang mampu dia membayar fidyah makan kepada orang miskin” Dahulu bagi orang yang ingin berbuka, dia boleh berbuka (walau tidak ada alasan apa-apa) akan tetapi dia harus menggantikannya dengan fidyah (memberi makanan) sampai turun ayat setelahnya yang menghapus ketentuan tersebut. “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185). [AH]