PANJIMAS.COM – Bulan Ramadhan yang penuh keberkahan akan segera datang, namun permasalahan kerap dialami kaum muslimin adalah perbedaan menentukan kapan dimulaianya puasa Ramadhan.
Lantas bagaimana pandangan syariat dalam menetapakan awal Ramadhan itu sendiri?
Mayoritas Ulama sepakat bahwa penentuan awal Ramadhan ditetapkankan melalui Rukyah (melihat hilal), diantaranya pendapat empat Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad) dan tidak boleh menggunakan hisab dengan menghitung peredaran bulan, maka dalam syareat penetapan puasa, haji, I’dain (dua hari raya) dengan cara rukyah. (Al fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2:600). Dalilnya:
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ» و في رواية: فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.” (HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Jika bulan tersebut tertutup awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga-puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan secara langsung. Jika bulan tersebut terhalang oleh awan, hendaknya disempurnakan bilangan bulan hingga tiga puluh hari. Inilah maksud lafadh “faqduru lahu” dalam hadits di atas setelah menjama’ beberapa riwayat yang ada.
Hal ini telah menjadi kesepakatan diantara ulama’, namun setelah masa abad ke 3 Hijriyyah, munculah pendapat yang membolehkan hisab untuk menentukan awal Ramadhan, dan ini pendapat tidak kuat yang menyelisihi mayoritas ulama’ (Majmu’ Fatawa 25:135)
Mutharrif bi Sakhir inilah yang berpendapat bolehnya hisab sebagai penentu awal Ramadhan apabila hilal tidak nampak dan bukan menggenapakan hitungan bulan menjadi 30 hari, dalilnya,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له
“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk menggunakan hisab. Karena Qadar atau ukuran artinya adalah hitungan. (Bidayatul Mujtahid 2:47)
Namun menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sebagaimana hadits shahih di atas.
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat). (Shahih Fiqh Sunnah 2:91).
Hal ini dikuatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا» يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ
“Sesungguhnya kita (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan menghitung, bulan itu jumlahnya 29 hari atau 30 hari.” (HR Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Artinya hadits di atas adalah untuk menentuan awal bulan, umat Islam tidak diwajibkan untuk mempelajari ilmu hisab. Karena Allah telah memberikan cara yang lebih mudah dan bisa dilakukan oleh banyak orang, yaitu rukyat.
Ini bukan berarti umat Islam dilarang mempelajari ilmu tersebut, karena Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada umatnya agar selalu menuntut ilmu pengetahuan selama hal itu membawa maslahat dalam kehidupan manusia ini. Akan tetapi maknanya bahwa ajaran Islam ini mudah dan bisa dicerna oleh semua kalangan, dan bisa dipraktekan oleh semua orang.
Perbedaan Kesatuan Wilayah Waktu
Ada perbedaan pendapat tentang ru‘yatul hilal, yaitu apakah bila ada orang yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak ? Atau hanya berlaku bagi negeri dimana dia tinggal?
Dalam hal ini terdapat dua versi:
Wihdatul Mathali’
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu 2: 605-606).
Prinsip pendapat adalah bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya.
Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul mathali‘, yaitu bahwa mathla‘ (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Mereka berdalil dengan beberapa hadits :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (lebaran) saat melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lafal hadist ini adalah ‘aam (umum/global) artinya adalah umum terhadap semua kaum muslimin. Dan keumuman/keglobalan hukum ini harus tetap dijaga-sebagaimana diterangkan di ilmu ushul fiqh- sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Dan disini tidak ada yang mengkhususkan dari ayat, hadist marfu’, maupun ijma’ ulama.
Berkata Ibnu Taimiyyah, “barangsiapa yang sampai padanya kabar bahwa hilal telah terlihat maka telah tetap baginya (puasa) tanpa batasan jarak.” (Majmu’ Fatawa 25:107).
Berkata Ibnu Hammam,”jika hilal terlihat di suatu negri, maka wajib bagi semua manusia. Maka wajib bagi penduduk negeri belahan timur untuk berpuasa dengan ru’yah penduduk negri bagian barat. Dan inilah yang jelas di madzhab hanafi.” (Fathul Qadir 2:313).
Ta’adudul Mathali’.
Pendapat kedua adalah pendapat madzhab As-Syafi‘iyah. Prinsipnya bila ada seorang melihat hilal, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memiliki mathla’ sendiri, sehingga hukumnya pun mungkin berbeda. Ini didasarkan pada prinsip ikhtilaful mathali‘ atau beragamnya tempat terbitnya bulan.
Hadist Kuraib yang dikeluarkan oleh Imam Muslim yang isinya bahwa Ummu Fadhl binti al-Harits mengutusnya untuk pergi menemui Muawiyah di Syam. Kuraib berkata : Aku memasuki kota Syam dan aku menyelesaikan urusanku di kota itu dan ternyata telah masuk bulan Romadhon sedang aku masih berada di Syam. Dan aku melihat hilal (bulan sabit sebagai pertanda awal bulan) pada hari Jum’at malam. Kemudian aku kembali ke Madinah di akhir bulan. Kemudia Ibnu Abbas RA bertanya kepadaku dan menanyakan hilal ,”kapan kalian melihat hilal”?Maka aku mengatakan, “kami melihatnya di hari jum’at malam.” Ia berkata,”apakah engkau benar-benar menyaksikannya?” maka aku jawab, “Ya, dan orang semua melihatnya dan mereka semua berpuasa dan Muawiyah pun juga berpuasa.”Ia berkata,”akan tetapi kami melihatnya hari Sabtu malam. Dan kami akan tetap berpuasa sampai sempurnya 30 hari atau kami melihat hilal.” Maka aku mengatakan, “apakah kita tidak cukup dengan ru’yat Muawiyah dan puasanya?” Maka ia menjawab, “bukan seperti ini yang diperintahkan Rosulullah SAW.”(HR Muslim : 1819)
Sebagian orang memahami dari hadist ini bahwa Ibnu Abbas berpegang pada ru’yat penduduk Madinah dan meninggalkan ru’yat penduduk Syam adalah sebagai dalil adanya ikhtilaf matholi’ atau perbedaan waktu dan tempat terbitnya bulan. Maka tidaklah penduduk suatu negri itu berpuasa dengan ru’yat negeri lain. Begitu juga dengan Idul Fitri.
Padahal perkataan Ibnu Abbas, ”bukan seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah,” itu bertentangan dengan hadist marfu’ dari Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan bahkan di dalam Muwattha’ Imam Malik disebutkan juga riwayat Ibnu Abbas. Artinya itu bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh dirinya. Meski perkataan Ibnu Abbas ra bisa dihukumi marfu’ akan tetapi di dalam hal ini tidak shorih karena ada kemungkinan beliau hanya memahami dari perkataan Rasulullah (artinya bukan meriwayatkan, tetapi menyimpulkan dan berijtihad).
Semoga Allah merahmati Imam Syaukani yang mengatakan, ”ketahuilah bahwa hujjah itu hanya berada di hadist marfu’ (dari Rasulullah ) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bukan dari ijtihad pribadi Ibnu Abbas yang difahami oleh orang. Dan ia melanjutkan ‘padahal perintah itu ada dari Rasulullah yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya yaitu hadist janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (beridul fitri) sampai kalian melihat hilal pula, jika tertutup oleh kalian maka sempurnakanlah bilangan itu menjadi 30 hari.” (Nailul Author 4:230).
_______________
Referensi:
- Bayan Hukm Ikhtilafil Mathali’ wal Hisab Al Falaky, Sami Wadi’ Abdul Fattah Al-Qaddumi.
- Al-Fiq Al-Islamy wa Adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili.
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal.
[AH]