Gelap mata..
Gelap hati
Gelap Nurani
Dunia dipenuhi kegelapan
Berbahasa besi dan baja
Aslinya Sipil tapi berwatak militer
Merasakan kesepian di tengah keramaian
Itulah sedikit gambaran tentang kondisi masyarakat kita. Dan fakta yang terjadi di lapangan memang seperti itu. Terlebih lagi bila kita berbicara kehidupan di kota besar. Tiap orang sibuk dengan kepentingan sendiri. Egois menjadi sifat mutlak, ..peduli terhadap saudara?? Boleh peduli, tapi yang penting, urusan sendiri sudah terselesaikan. Begitulah, pikiran mereka. Na’udzubillah..
Sungguh bila kita jujur , mayoritas masyarakat di Indonesia adalah muslim. Namun akhlak islami belum teraplikasikan secara sempurna. Bahkan terkesan budaya dari selain islam lebih mendominasi. “ Tidak ada persahabatan abadi, yang ada adalah kepentingan pribadi di atas segalanya”.
Hal ini sangat terlihat jauh perbedaannya dengan generasi awal islam. Sifat dan akhlak yang mulia menghiasi hari-hari mereka, ibadah yang tulus dan ikhlas memenuhi relung-relung kehidupan mereka. Tentunya tidak cukup untuk dilukiskan dan dipaparkan semua kehidupan mereka dalam media ini. Mari kita ambil satu saja dari sifat-sifat mereka yang agung sebagai contoh dan bukti bahwa betul ungkapan di atas yang mengawali tulisan ini. Yakni sebagaimana kisah yang terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
“Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu dia berkata, “Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah n menyampaikan hal tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka berkata, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan hal itu kepada istri-istri beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku malam ini? Maka berkatalah seorang dari kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut membawa tamunya ke rumahnya. Lalu berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan
bahwa shahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam). Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajak main), kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberitakan (pujian Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa heran/kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian).”(Muttafaqun ‘alaih)
Sifat inilah yang dikenal dengan ‘al-Itsar’, di mana para ulama mendefinisi kannya (di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin) adalah mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala tentang sifat atau perbuatan yang terpuji ini, yang dimiliki oleh para shahabat Anshar, artinya,
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. al-Hasyr: 9)
Pengertian Al-Itsar
Itsar (لْإِيثَارُا ), secara bahasa bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang sudah mulai hilang di masa kita sekarang ini, Padahal akhlak mulia ini adalah puncak tertinggi dari ukhuwah islamiyah dan merupakan hal yang sangat dicintai oleh Allah Ta’ala dan juga dicintai oleh setiap makhluk. Memang jika dilihat dari timbangan logika, hal ini merupakan hal yang sangat berat, mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan imbalan apapun. Akan tetapi di dalam agama islam, hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Tinta emas sejarah telah menuliskannya, bagaimana sikap itsar kaum muslimin terhadap saudaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai sambutan orang-orang anshar terhadap orang-orang muhajirin,
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah menjelaskan siapakah orang-orang yang dimaksud di dalam ayat ini, “Mereka adalah golongan As-Sabiqunal Awwalun, dari golongan muhajirin dan anshar, yaitu orang-orang yang berinfak sebelum penaklukan kota Makkah dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (Lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, Tahqiq Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Arna’uth I/692)
Inilah akhlak para sahabat Nabi yang mulia, mereka kaum Anshar benar-benar menyambut kaum Muhajirin yang datang kepada mereka, mereka menerima saudara-saudara mereka yang seiman dan seaqidah dengan tangan terbuka. Mereka para kaum Anshar saling berlomba-lomba memberikan segala apa yang mereka bisa berikan kepada sesama. Padahal saat itu mereka sendiri membutuhkan.
Hukum Seputar Al-Itsar
Tidak semua yang baik akan selamanya menjadi baik, misalnya ketika diletakkan pada tempat yang tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan hukum-hukum syar’i atau ditinjau dari perspektif hukum Islam. Seperti perkataan hak yang tidak diucapkan pada tempat yang hak, maka ia tidak dikatakan dengan “al-Qoul as-Sadid” (ucapan yang benar), karena dampaknya bukan suatu yang mendatangkan maslahat dan kebaikan, justru sebaliknya yang ada hanya fitnah dan madharat baik bagi orang yang mengucapkannya atau bagi orang yang mendengarkannya. Begitu juga dengan “al-Itsar”, tidak semua mengutamakan orang lain atas diri kita itu menjadi kebaikan atau ternilai ibadah, tatkala mengutamakan di sini justru bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang ada. Maka dari hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin membagi al-Itsar menjadi 3 macam hukumnya:
Yang pertama; Haram
Sifat atau perbuatan yang pada asalnya adalah terpuji ini, justru dihukumi haram ketika dilakukan. Yakni ketika seseorang mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang diwajibkan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya. Contoh: seorang yang belum berwudhu dan hanya memiliki air yang cukup untuk dirinya sendiri, sementara ada orang lain yang juga belum berwudhu dan tidak memiliki air. Dalam hal ini haram baginya memberikan air tersebut untuk saudaranya. Karena kewajiban orang yang memiliki air saat masuk waktu sholat adalah berwudhu dengan air tersebut, sedangkan saudaranya, maka gugurlah kewajiban nya untuk berwudhu dengan air, karena ketidakadaannya. Dan dalam hal ini ia bertayammum dengan debu sabagai ganti air.
Yang ke dua; Makruh
Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang mustahab atau sunnah. Di mana para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian menghukumi makruh dan sebagian lain menghukumi mubah, tetapi meninggalkan nya adalah lebih utama kecuali di dalamnya ada maslahat. Contoh: seorang yang mempersilahkan orang lain pada tempatnya di shaf yang pertama dalam shalat. Maka perbuatan seperti ini dianggap makruh oleh sebagian ahlul ilmi. Alasannya karena orang tersebut berarti tidak mencintai kebaikan, sedang tidak cinta kepada kebaikan adalah perbuatan yang makruh. Sebagian lain berpendapat mubah tetapi meninggalkannya (al-itsar dalam perkara yang mustahab) adalah lebih utama (aula) kecuali ada maslahatnya. Contoh: seorang yang mempersilahkan bapaknya pada tempatnya di shaf pertama, karena khawatir tersinggung dan lain sebagainya (menimbulkan fitnah), maka dalam hal ini dibolehkan.
Yang ke tiga; Mubah
Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang bukan ibadah. Dan terkadang hukumnya menjadi mustahab (sangat dianjurkan dan terpuji). Contoh seorang yang memiliki makanan dan ia dalam keadaan lapar, sementara saat itu ada saudaranya yang juga lapar, maka jika seorang tersebut mengutamakan saudaranya atas dirinya padahal ia juga dalam keadaan yang sama (lapar) tentunya hal ini perbuatan yang sangat terpuji (mahmud), sebagaimana telah disebutkan di atas dalam surat al-Hasyr ayat: 9, bagaimana Allah subhanahu wata’ala memuji para sahabat Anshar yang memiliki sifat al-Itsar tersebut. Dan juga seperti perbuatan seorang sahabat anshar dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas yang diriwayatkan secara Muttafaq ‘alaih.
Kisah-Kisah Teladan tentang Itsar
Seorang Shahabat dengan Tamunya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya air. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya.” Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, “Saya akan menjamunya wahai Rasulullah.” Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, “Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, “Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita.” Maka diapun berkata kepada istrinya, “Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, “Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, “Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam,” maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kisah Sa’ad bin ar-Rabi’ dengan Abdur Rahman bin Auf
Abdur Rahman bin Auf mengisahkan, “Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempersaudarakan aku dengan Sa’ad bin ar Rabi’, maka Sa’ad bin ar Rabi’ mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan, “Abdur Rahman berkata, “Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu.”
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)
Umar Ibnul Khaththab dengan saudaranya Zaid Ibnul Khaththab
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umarzdia berkata, “Umar bin Khaththab berkata kepada saudaranya Zaid Ibnul Khaththab pada waktu perang Uhud,” Aku bersumpah agar kamu mau memakai baju besiku ini, maka Zaid pun memakai baju besi itu namun ia melepaskannya lagi. Maka Umar berkata kepadanya, “Ada apa denganmu (mengapa kau lepas)?“ Maka zaid menjawab, “Aku menghendaki terhadap diriku sebagaimana yang engkau kehendaki terhadap dirimu.”
(HR Ibnu Sa’d dan ath Thabrani dalam al Ausath)
Tiga Shahabat Menjelang Naza’
Dari Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, “Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, “Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan, “Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah mening-gal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun).
(HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr)
Abu Thalhah dengan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, “Begini wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu.”
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)
Hadiah Kembali Kepada si Pemberi
Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Salah seorang dari shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.”
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259)
Ibnu Umar dan Pengemis
Nafi’ maula (klien) Ibnu Umar meriwayatkan, “Ibnu Umar suatu ketika sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus Shafiyah (istrinya) dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika pelayan (utusan) mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, “Ada pengemis.” Maka Ibnu Umar berkata, “Berikan anggur itu kepadanya.” Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis.(HR al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/260).
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.
Ummul Mukminin Aisyah Radhiallaahu anha dan Orang Miskin
Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu menyahut, “Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi.”
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)
Bersama Para Salaf.
- Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, “Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semua nya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)
- Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,”Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, “Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, “Ini keseluruhan yang aku miliki.” (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)
- Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Min-talah apa saja yang kau kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, “Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan.” (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
Wallahu a’lam bish shawab .(Zidan)