IDC- NEWS.COM- “(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imron: 172- 175)
Merekalah orang-orang yang telah diseru oleh Rasulullah untuk kembali keluar menuju peperangan yang sangat pahit, sedang mereka masih dalam kondisi lemah karena luka-luka yang mereka derita dari peperangan yang baru saja mereka hadapi (Uhud). Dan belum hilang dalam benak mereka tentang dahsyatnya pertempuran, pahitnya kekelahan dan besarnya kesusahan.
Ditambah lagi dengan terbunuhnya sebagian sahabat mereka dan semakin sedikit jumlah mereka disamping mereka sendiri yang semakin lemah dengan luka-luka mereka.
Akan tetapi Rasulullah telah menyeru mereka dan tidak mengizinkan seorangpun absen darinya (bagi yang telah turut perang Uhud) agar besar jumlah dan kekuatan mereka, maka mereka memenuhi seruan Allah tersebut –sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat-ayatNya diatas meskipun kekalahan dan luka-luka yang mereka derita.
Maka turunlah ayat-ayat ini setelah perang Hamro’ul Asad, dan kita akan mencoba untuk hidup dalam perang tersebut dalam pembahasan ini insyaallah. Tidak diragukan lagi bahwa perang ini adalah perang agung yang memiliki banyak pelajaran, dan tidak ada yang lebih jelas dalam menunjukkan keagungannya selain Allah yang menurunkan ayat-ayat berbicara tentangnya.
Penyebab Peperangan
Ketika kaum muslimain telah tertimpa apa yang menimpa mereka di Uhud dan kaum musyikin telah kembali sambil saling mencela diantara mereka, berkatalah seorang dari mereka: “Kalian ini belum berbuat sesuatu untuk musuh kalian (muslimin), kalian telah berhasil mengalahkan kekuatan mereka lalu kalian tinggal mereka begitu saja padahal masih tersisa para petinggi mereka dan kelak akan menuntut balas kepada kalian, maka kembalilah untuk benar-benar menghabisi mereka!.” Maka tatkala sampai berita tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau langsung menyeru para sahabatnya untuk bersiap-siap kembali menghadapi musuh seraya berkata: “Jangan lah keluar menyertaiku kecuali yang telah turut berperang kemaren (Uhud).” Maka mereka memenuhi seruan tersebut meski masih menderita luka parah dan diliputi ketakutan.
Ibnu Ishaq berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar hanya untuk menakut-nakuti orang-orang musyrik dan menunjukkan kepada mereka seakan-akan kaum musliminlah yang memburu mereka, sedangkan apa yang menimpa mereka di Uhud tidaklah berarti apa-apa bagi mereka.”
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. “
Pada peperangan ini telah terpancar dalam diri Rasulullah kecerdikan seorang panglima perang. Kecerdikan dalam segala hal sebagaimana juga terpancar dalam setiap peperangan.
Lalu ketika beliau menyeru pasukan untuk berperang, beliau sendirilah yang pertama kali keluar. Dan ketika beliau membangunkan orang-orang yang terluka beliau sendiri menderita luka seperti mereka. Maka keluarlah Nabi dalam peperangan ini dengan membawa luka di wajah beliau yang mulia, dan tikaman di keningnya. Ditambah lagi gigi geraham beliau yang copot dan bibir bagian dalam beliau yang luka. Belum lagi pundak beliau yang melemah karena pukulan dari Ibnu Qom’ah dan kedua kakinyapun lemah.
Dan beginilah seharusnya setiap komandan beramal dan turut merasakan apa yang ia perintahkan kepada para pasukannya. Sebagai faktor terbesar yang menggerakkan mereka meskipun separah apapun luka mereka dan sebanyak apapun darah mengalir.
Berkata seorang salah sahabat, “Aku dan adikku ikut dalam perang Uhud, lalu kami pulang dalam keadaan terluka. Maka tatkala muadzin rasulullah menyeru manusia untuk keluar kembali mengejar musuh, aku berkata kepada saudaraku –atau dia berkata kepadaku-, “Apakah kita rela tertinggal dari sebuah peperangan yang diikuti Rasulullah? Dia menjawab, “namun tak ada kendaraan yang bisa kita naiki dan ditambah lagi dengan luka parah yang kita derita”. Maka kamipun keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebetulan lukaku lebih ringan dari lukanya, maka ketika dia tidak kuat lagi berjalan aku menggendongnya, hingga tibalah kami ditempat berkumpulnya kaum muslimin.
Keluar juga Sa’ad bin Mu’adz, kemudian ia kembali ke rumahnya memerintahkan seluruh kaumnya untuk keluar tatkala muadzin Rasulullah menyeru manusia untuk keluar. Sedangkan luka yang diderita anggota kaumnya sangatlah parah,meliputi seluruh bani Abdil Ashyhal. Maka datanglah Sa’d bin Mu’adz dan berkata, “sesungguhnya Rasulullah telah menyeru kalian untuk keluar memburu musuh kalian.” Maka berkatalah Usaid bin Hudhoir -yang ketika itu mendapatkan tujuh luka dan ia sudah berniat mengobatkannya-, “sam’an wa tho’at untuk Allah dan RasulNya,” kemudian ia mengambil senjatanya sedangkan ia belum jadi mengobati luka-lukanya, lalu ia temui Rasulullah.
Begitupula Sa’d bin Ubadah mendatangi kaumnya Bani Sa’adah dan memerintahkan mereka untuk keluar maka mereka pun turut bergabung. Abu Qatadah mendatangi ahlu khurba tatkala mereka sedang mengobati luka mereka, ia berkata, “Muadzin Rasulullah telah menyeru kalian untuk memburu musuh kalian, maka mereka langsung melompat bersegera mengambil senjata dan tidak menyelesaikan pengobatan. Maka keluarlah dari bani Salamah 40 orang yang sedang terluka, luka luar dalam.
Luka Luar dan Dalam
Luka yang menimpa kaum muslimin ketika itu bukan saja luka luar yang menimpa fisik mereka saja, akan tetapi luka mereka memuncak hingga menimpa jiwa-jiwa mereka karena menelan kepahitan yang mereka rasakan setelah menikmati kemenangan yang mereka petik dalam peranh Badar.
Dan tidak diragukan lagi bahwa luka dalam jiwa itu lebih terasa dan menyakitkan daripada luka luar. Karena luka badan itu pada umumnya mudah sembuh dan segera pulih kembali lain halnya dengan luka dalam, luka jiwa akan susah untuk disembuhkan dan pulih kembali.
tidak diragukan pula bahwa luka dan tekanan pada jiwa itu lebih berbahaya, apalagi jika hal itu menimpa sekumpulan masyarakat, tentu lebih dahsyat pengaruhnya dan menyakitkan bahkan bisa menyamai kebinasaan karena kematian haqiqi adalah kematian jiwa bukan kematian jasad. Oleh karena itu Nabi bersegera mengobatinya. Yaitu mengobati luka mental ma’nawi mereka dengan mengadakan perang ini.
Maka apabila tidak serius mengobati lukanya karena takut akan biaya pengobatannya maka mereka akan segera membayar mahal biaya yang berlipat-lipat. Karena luka yang terlambat pengobatannya akan segera membusuk padahal sebelumnya masih mungkin untuk disembuhkan. Dan anggota tubuhnya akan rontok terputus-putus ketika sebelumnya masih mungkin untuk dipulihkan, serta keterlambatan tersebut akan membawa kerugian yang sangat besar dalam hidupnya.
Oleh karena itu ketika umat Islam pada zaman ini berlambat-lambat dalam menyembuhkan lukanya, yaitu luka kekalahan dan pukulan yang bertubi-tubi, yang mana sebagian besar kelambatan tersebut disengaja, maka umat ini akan tertimpa kehinaan yang akan menghentikan perannya dalam kehidupan ini dalam kurun waktu yang lama. Dan akan menjadi semakin susah sekali bagi siapa yang ingin memperbaikinya bahkan hampir-hampir tak mampu lagi seluruh dokter mengobati, serta akan semakin lemah azzam umat ini, musnah semangat bertempurnya dan di penuhi hati mereka dengan ketakutan terhadap musuh-musuhnya.
Sampai-sampai hampir seluruh kaum muslimin menyangka bahwa mereka tidak mampu lagi mengalahkan musuhnya, dan sampai sekarang pun banyak yang tidak percaya bahwa kau muslimin mujahidin telah berhasil mempecundangi Amerika, mereka menyangka itu hanya sebatas mimpi. Dan engkau akan melihat sebagian kibar ulama –yang seharusnya manusia yang paling kuat hatinya- mendistorsi makna jihad dengan bermacam-macam makna bathil karena takut mati dan takut perang. Dan kalaulah bukan karena Allah –dengan karuniaNya- telah memudahkan putra-putra terbaik umat ini untuk menjaga agama ini dan mulai berbuat sesuatu untuk menyembuhkan luka, pasti umat ini akan hilang terkubur tinggal cerita yang diingat manusia.
Selanjutnya, berkenaan dengan pengkhususan seruan perang hanya kepada pasukan yang telah terluka (turut dalam perang uhud), Sayyid Quthb rahimahullah berkata,
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengeluarkan seruan, seruan yang dibarengi dengan sambutan dari para sahabat ini memiliki pelajaran yang bermacam-macam dan sebuah kenyataan yang besar diantaranya:
-Mungkin Rasulullah tidak menginginkan hal terakhir yang menimpa kaum muslimin adalah perasaan kekalahan dan kepedihan luka yang membekas. Maka Rasulullah langsung membangunkan mereka untuk mengejar Quraisy dan memburu mereka, agar terpatri dalam diri kaum muslimin bahwa apa yang menimpa mereka kemarin berupa kekalahan itu hanyalah cobaan bagi mereka dan bukan akhir dari perjalanan lalu setelah itu mereka kembali kuat dan menunjukkan bahwa musuh mereka yang menang kemarin itu sebenarnya lemah.
-Dan mungkin disisi lain Rasulullah juga menginginkan agar kaum musyrikin yang telah merasa menang kemarin, sekarang dikejar oleh pasukan yang sama, yang mereka sangka telah kalah. Hal itu diharapkan agar kaum musyrikin meyakini bahwa mereka belum dapat menimpakan apapun terhadap kaum muslimin karena kaum muslimin masih mampu untuk mengejar mereka.
-Disisi lain Rasulullah hendak menunjukkan kepada kaum muslimin dan seluruh dunia munculnya sebuah kenyataan baru dalam hidup ini, suatu kenyataan akan adanya sebuah aqidah yang menjadi segala-galanya bagi para pengusungnya, tidak ada yang mereka butuhkan di dunia ini selainnya dan tidak ada tujuan tertinggi dalam hidup ini kecuali aqidah tersebut. Sebuah aqidah yang mereka hidup hanya untuknya.
Hal ini adalah sesuatu yang baru dimuka bumi dikala itu, yaitu sebuah kenyataan agung. Demikianlah perkataan Sayyid Quthb rahimahullah.
Dan mungkin bisa ditambahkan lagi hikmah dari pengkhususan seruan Rasulullah hanya kepada mereka yang terluka (turut dalam perang Uhud) bahwa beliau hendak menjadikan mereka itu teladan bagi generasi setelah mereka, yaitu teladan tentang kesabaran yang besar dalam menghadapi musuh dan contoh yang gemilang untuk terus meneruskan perjalanan dalam kesusahan dan cobaan.
Beliau juga hendak mengajarkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang ma’nawi, perang mental, karena perang senjata memang dibangun diatasnya, dan kekalahan yang sesungguhnya adalah kekalahan mental.
Hikmah lain dari pengkhususan seruan ini agar para pasukan yang telah terluka luar dalam ini tidak kembali ke Madinah bercampur dengan yang lain kecuali telah dihilangkan dari mereka nuansa kekalahan dan kehancuran jiwa. Hal itu agar penyakit wahn itu tidak menular kepada kaum muslimin yang lain karena penyakit wahn itu ibarat penyakit tho’un yang sangat cepat menular.
Dan gambaran kesabaran dan keteguhan mereka –setelah tertimpa luka yang banyak- ini melahirkan ma’na yang mulia dan senantiasa mungkin akan diulang. Sungguh saya berharap agar siapa saja yang ingin menghidupkan kembali jihad di zaman ini –setelah umat ini ditimpa kekalahan yang bertubi-tubi- dia bisa diliputi oleh ayat-ayat ini dan menjadi seperti pasukan Hamro’ul Asad. Dan saya juga sungguh berharap agar siapa yang menjadi arsitek jihad Afghanistan setelah runtuhnya Imaroh Islamiyah (Taliban) juga dapat diliputi makna ayat ini juga saya berharap kepada mereka yang senantiasa bersabar meneruskan perjalanan ini setelah tertimpa luka-luka yang sangat pedih mampu menjadi seperti pasukan Hamro’ul Asad dan sungguh Allah mempunyai karunia yang besar. (Habibi)
Maraji’: Fi Dhilalis Sirah, Asy Syaikh Al Mujahid Abu Manshur Asy Syami rahimahullah.