Jakarta (Panjimas.com) – Buya Hamka, menyadari pentingnya transfer ilmu melalui lembaga pendidikan. Tetapi lembaga pendidikan yang didirikannnya bukanlah surau atau madrasah yang sedikit banyak memungkinkan berlangsungnya transmisi keilmuan secara tradisional tadi.
Sebaliknya Hamka mendirikan Sekolah Islam al-Azhar (1961), yang moderen, yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda tidak hanya dalam substansi keilmuan, tetapi juga dalam corak transmisinya. Hasilnya adalah kemunculan sebuah corak baru pendidikan Islam, yang menghasilkan generasi baru Muslim terdidik di lingkungan keluarga dan masyarakatnya yang juga terus berubah.
Demikian pemaparan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Azyumardi Azra, CBE, dalam makalahnya yang berjudul “Perjuangan Politik dan Pendidikan Buya Hamka”, dalam Seminar Nasional “Membedah Pemikiran Buya Hamka dalam bidang Teologi, Fiqh, Harakah, Sastra, Pendidikan dan Tasawuf di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al Azhar, Kamis (15/2).”
Azyumardi mengungkapkan, pendirian sekolah Islam al-Azhar merupakan titik awal perubahan sekolah Islam menuju kemajuan. Sekolah-sekolah Islam—seperti sekolah Muhammadiyah—sudah ada sejak dasawarsa kedua abad 20. Tetapi tidak berhasil meningkatkan kualitas dan daya tariknya sampai akhir kekuasaan Belanda dan Jepang, dan bahkan sampai masa tiga dasawarsa setelah kemerdekaan negeri ini.
Faktor utamanya sudah jelas; pertama, tidak terdapat dukungan finansial memadai, yang memungkinkan terjadinya upaya peningkatan kualitas; kedua, belum tersedianya sumber daya yang mampu mengelola dan mengembangkan sekolah-sekolah Islam tersebut. Keadaan yang hampir sama—hanya sedikit lebih baik dialami juga oleh sekolah-sekolah negeri.
Akibatnya, banyak orangtua yang kaya atau pejabat enggan mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam, dan bahkan ke sekolah negeri. Hanya kalangan bawah saja yang mengirim anaknya ke sekolah Islam atau sekolah negeri. Sekolah-sekolah yang menjadi favorit mereka adalah sekolah Katolik atau Kristen yang lebih menjanjikan mutu dan disiplin, yang masih menerapkan disiplin model Belanda.
Sampai akhir dasawarsa 1970an, bagi orang kaya dan pejabat, mengirim anak-anak ke sekolah-sekolah seperti ini sangat bergengsi; dan karena itu ia juga menjadi salah satu simbol status.
Keadaannya mulai berubah, pelahan tapi pasti, sejak 1970an. Perintis perubahan itu, tidak lain adalah sekolah Islam al-Azhar yang terletak di lingkungan Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, yang merupakan kawasan elit di Jakarta.
Terkait erat dengan visi kemoderenan dan keindonesiaan ulama besar, Prof DR Buya Hamka, sekolah al-Azhar menjadi model bagi sekolah-sekolah Islam yang berkecambah tidak hanya di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia sejak 1980an. Al-Azhar sendiri membuka cabang di berbagai kota dengan cakupan pendidikan sejak dari tingkat dasar dan menengah; dan di Jakarta ada Universitas al-Azhar Indonesia.
Model al-Azhar berkecambah sejak 1980an. Sebagiannya merupakan cabang al-Azhar yang memisahkan diri. Lalu ada al-Izhar, Madania (Parung), as-Salam (Solo), SMU Insan Cendekia (Serpong dan Gorontalo), SMU Athiroh (Makassar), Internat al-Kautsar (Sukabumi), dan banyak lagi untuk didaftar satu persatu.
Sekolah-sekolah ini—mengikuti model yang diletakkan Buya Hamka—dikelola secara profesional, dengan sumber daya manusia yang baik; dan tidak kurang pentingnya, dengan dukungan finansial yang amat baik. Karena itu, tidak heran kalau sekolah-sekolah ini berhasil meningkatkan kualitas pendidikannya.
Tidak heran pula kalau sekolah-sekolah ini menjadi sekolah-sekolah favorit dan sekaligus menjadi sekolah ‘elit’. Pelahan tapi pasti pula, kian banyak kalangan menengah ke atas—orang kaya dan pejabat—mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah seperti ini. Dan, tidak terelakkan lagi, sekolah-sekolah menjadi simbol status baru khususnya bagi keluarga-keluarga kelas menengah Muslim yang sedang dan terus bangkit sejak 1980an.
Dengan demikian Buya Hamka meletakkan dan mengembangkan pendidikan Islam modern yang maju dan membanggakan. Dengan perkembangan semacam itu, situasi sosiologis umat Islam sepanjang dasawarsa 1990-an membukakan peluang lebih besar bagi munculnya berbagai eksperimen baru dalam pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitasnya.
Sejak dasawarsa terakhir abad 20, muncullah semakin banyak sekolah Islam swasta yang dalam perkembangannya disebut sebagai ‘sekolah Islam plus’, ‘sekolah Islam unggulan’, dan bahkan ‘sekolah elit’ Islam/Muslim” yang dirintis Sekolah Islam al-Azhar.
Sekolah Islam al-Azhar dan sekolah-sekolah Islam yang mengikuti jejaknya disebut ‘elit’, ‘unggulan’ atau ‘plus’ karena beberapa alasan: Pertama, sekolah-sekolah ini menerima siswa-siswanya secara sangat kompetitif, baik dari segi kemampuan akademis maupun keuangan;
kedua, guru-guru yang mengajar juga diterima melalui penyaringan dan seleksi yang sangat kompetitif; ketiga, sekolah-sekolah ini memiliki berbagai prasarana dan sarana pendidikan yang jauh lebih baik dan lebih lengkap dibandingkan sekolah-sekolah Islam, madrasah dan bahkan sekolah-sekolah negeri lainnya. Dengan berbagai latar belakang seperti ini, tidak heran, kalau kemudian para siswanya juga memiliki kualitas lebih baik dan lebih unggul.
Pada spektrum lain, sekolah-sekolah negeri juga terus berkembang dan meningkatkan kualitasnya. Dan karena itu, pelahan tapi pasti, munculkan sekolah-sekolah negeri yang menjanjikan mutu pendidikan yang baik. Hasilnya, tidak heran, kalau muncul SMA-SMA favorit di berbagai kota. Dan mengikuti jejak sekolah swasta, sekolah-sekolah negeri ini juga memungut dana untuk melengkapi fasilitas yang tidak selalu tersedia dalam anggaran resmi dari negara.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana mereplikasi contoh-contoh keberhasilan ini demi peningkatan kualitas pendidikan bangsa secara keseluruhan. Karena itu, perlu pemikiran tentang filantropisme pendidikan, agar biaya yang relatif mahal pada sekolah berkualitas dan favorit ini untuk dipikul bersama guna memberikan kesempatan kepada anak-anak cerdas tapi miskin untuk juga bisa menggapai keunggulan. Dengan begitu pendidikan berkualitas juga dapat dinikmati anak-anak kurang beruntung, yang seyogyanya dapat diberikan peluang. (ass)