Jakarta (Panjimas.com) – Dalam makalahnya yang berjudul “Perjuangan Politik dan Pendidikan Buya Hamka”, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Azyumardi Azra, CBE, memaparkan perjuangan politik Buya Hamka dan penolakannya atas fasilitas dari pemerintah saat menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Makalah itu disampaikan dalam rangka milad ke 66 Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar dan Milad ke 110 tahun Buya Hamka. Direktorat Dakwah dan Sosial YPI Al Azhar menggelar seminar nasional dengan tema “Membedah Pemikiran Buya Hamka dalam bidang Teologi, Fiqh, Harakah, Sastra, Pendidikan dan Tasawuf di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al Azhar, Kamis (15/2).”
Azyumardi Azra, Pengamat Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, itu mengupas kenapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan?
“Ini tidak lain berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegangi. Hamka sangat meyakini bahwa kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid,” jelasnya.
Dan, sebaliknya bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut; dan tanpa itu, kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.
Aktivisme perjuangan politik Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam Pemilu 1955 terpilih lewat [Partai] Masyumi sebagai anggota Konstituate. Melalui Konstituante Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo; dan selanjutnya menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.
Tetapi Hamka segera bersimpangjalan dengan Presiden Soekarno; pertama, karena kian dominannya PKI, dan kedua karena terus meningkatnya otoritarisme Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rejim Soekarno.
Pada saat yang sama, majalah panji Masyarakat yang dipimpinnya dibredel karena memuat artikel panjang Mohammad Hatta, Demokrasi Kita yang kritis terhadap Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.
Hamka adalah sosok intelektual—yang dengan menggunakan kerangka Gramsci, ‘intelektual organik’ yang memegangi integritas. Dengan integritas ia berani menyampaikan pesan kebenaran kepada penguasa—apapun biaya yang kemudian harus ia bayar. Dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama-cum-intelektual, ia tidak dapat ‘dibeli’—apalagi digertak.
Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pasca-keluar dari tahanan seusai pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan diri dalam politik praktis. Sebaliknya Hamka menghabiskan waktunya dalam dunia intelektual, aktivisme dakwah, pendidikan dan kepengarangan.
Tolak Fasilitas Pemerintah
Pada 1975 ia menerima permintaan Presiden Soeharto untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Hamka memandang, MUI merupakan media perjuangan untuk memperjuangkan kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Di sini terlihat kembali ‘realisme’ politik Hamka di tengah kekuasaan Presiden Soeharto yang tengah menanjak dan tidak jarang dianggap sebagai merugikan Islam dan kaum Muslimin Indonesia.
Lebih jauh, sebagai intelektual-cum-ulama, Hamka menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya sebagai Ketua MUI Pusat. Meski ia memandang posisi itu sebagai ‘bika yang terbakar dari atas dan dari bawah’, Hamka memilih untuk menjadi ‘bika’ daripada menjadi ulama yang telah ‘dibeli’ kekuasaan.
Nuansa politik yang terkait agama, terlihat dalam kenyataan bahwa Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama sebagai Ketua Umum MUI. ‘Fatwa Natal’ yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam ‘Natal bersama’ tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antar-umat beragama. Buya Hamka menolak rejimentasi pemerintah Orde Baru—yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara—untuk mencabut fatwa tersebut.
Menyikapi rejimentasi itu, Hamka memilih mundur dari MUI Pusat daripada mengorbankan integritas keulamaan-intelektualnya. Selanjutnya Hamka berkonsentrasi penuh dalam bidang kepenulisan, dakwah dan pendidikan sampai wafat pada 24 Juli, 1981. (ass)