(Panjimas.com) – “Dan (Allah berfirman), ‘Hai Adam, tinggallah engkau bersama istrimu di surga, serta makanlah olehmu berdua apa saja yang kalian suka. Tetapi janganlah kalian berdua mendekati pohon yang satu ini. (Apabila mendekati), kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.’ Lalu setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan aurat mereka (yang selama ini tertutup). Dan (setan) berkata, ‘Tuhan melarangmu mendekati pohon ini hanya agar kalian berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya aku benar-benar termasuk penasihat kalian.’ Dia (setan) membujuk mereka berdua dengan tipu daya. Ketika keduanya telah mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah aurat mereka, dan mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kalian dari pohon itu, dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian?’ Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.'” (al-A’raf: 19-23).
Nabi Adam as dan istrinya, Hawa, moyang manusia, berbuat satu kesalahan saat menjadi penghuni surga. Mereka termakan tipuan setan, lalu tersadar dengan segera, dan bertobat. Apa kesalahan mereka? Makan buah larangan. Peristiwa apakah itu? Peristiwa mulut!
Sebagian pendapat mengatakan bahwa kesalahan itulah yang menjadi alasan Allah swt memindahkan Adam-Hawa ke bumi. Pendapat lain mengatakan bahwa pemindahan itu bukan karena kesalahan yang mereka lakukan, melainkan semata kehendak Allah swt demikian. Berbuat salah ataukah tidak, Adam-Hawa tetap dipindahkan ke bumi dan menjadi moyang kita, bangsa manusia.
Apa pun itu, yang pasti, sebuah kesalahan monumental telah dilakukan oleh moyang manusia, dan ia adalah peristiwa mulut. Ini merupakan satu pesan mendalam bagi kita, manusia, agar organ tubuh yang satu ini, yang bernama mulut ini, benar-benar kita jaga dengan benar!
Karakter Islam yang integral, tidak mendikotomikan urusan ruh dengan fisik, dunia dengan akhirat, memberikan konsekuensi penjagaan diri (termasuk mulut) meliputi aspek ruhani dan jasmani.
Secara ruhani/ruhiyah, Islam mengajarkan tata-lisan yang baik, santun, beradab, membangun, berfaedah.
“Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).’ Sungguh, setan (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (al-Isra’: 53).
“Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik, atau diam.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjadi nasihat sangat jelas bahwa lisan harus dijaga, tak boleh sembarang bicara, harus memertimbangkan faedah dan adabnya. Bicara, bersuara, merupakan satu aspek fungsi mulut.
Jika dipandang hanya dengan logika sains yang dangkal, isi pembicaraan tak ada benang merahnya dengan kesehatan badan. Namun logika sains yang lebih dalam, yang tak meninggalkan aspek spiritual, mampu menemukannya. Seorang pakar pengobatan Muslim mengatakan, “Penyakit muncul disebabkan oleh perilaku kurang baik yang dilakukan hari demi hari, bahkan bertahun-tahun.” Salah satu wujud perilaku tidak baik adalah berbicara tidak baik.
Aspek fungsi kedua dari mulut yakni sebagai pintu masuk makanan dan minuman. Makan dan minum merupakan kebutuhan primer jasad manusia dan makhluk hidup lainnya. Agar kesehatan terpelihara, perilaku makan sudah pasti harus baik. Dalam Islam, ada dua syarat makanan dan minuman boleh diasup. Ialah halal dan tayib.
Halal meliputi wujud dan cara mendapatkan. Halal wujud seperti Allah firmankan dalam al-Baqarah: 173. Selain makanan-minuman yang disebut sebagai haram di ayat tersebut, ayat lain, dan hadits, adalah halal. Namun yang halal itu apabila diperoleh dengan cara yang haram, maka menjadi haram. Masalah halal-haram makanan-minuman sudah mencakup akpek ruhani dan jasmani. Makanan-minuman yang diharamkan, secara sains tidak baik bagi kesehatan dan berbuah dosa. Sedang makanan-minuman yang didapat dengan cara haram, mungkin baik-baik saja bagi kesehatan, akan tetapi berbuah dosa pula yang akan dibalasi dengan azab. Azab bisa dikenakan di dunia maupun akhirat. Dan azab di dunia bisa berupa sakit yang membawa derita.
Perihal makanan dan minuman halal, kaum Muslim di dunia kini, khususnya di Indonesia, sudah semakin sadar dan berhati-hati. Labelisasi halal MUI (Majelis Ulama Indonesia) diikuti oleh perusahaan-perusahaan makanan-minuman yang memasarkan produk mereka di negeri ini agar dibeli. Tetapi tayib, apakah sudah diperhatikan sekarang? Apakah kaum Muslim, para pemukanya, ulamanya, sudah membahas secara serius? Apakah mereka sudah mengamalkan dalam keseharian, menginsumsi makanan-minuman hanya yang tayib? Lebih banyak yang tayib ataukah yang tidak, makanan-minuman yang beredar di negara kita?
Pertanyaan-pertanyaan di atas harus kita jawab dengan jujur dan diikuti langkah nyata di lapangan. Bila ternyata makanan-minuman tayib masih menjadi mimpi, maka PR kita, Muslim, sebagai cicit pendiri negeri, adalah bagaimana mewujudkannya menjadi nyata. Sekali lagi, peristiwa dosa yang dilakukan moyang kita Adam-Hawa adalah peristiwa mulut, soal makanan!
“Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi. Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 168).
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rejeki yang baik yang Kami berikan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian hanya menyembah kepadaNya.” (al-Baqarah: 172).
Memang tidak mudah menentukan kriteria ketayiban makanan-minuman. Karena nilai negatif makanan-minuman yang beredar di sekitar kita bertingkat-tingkat. Yang pasti, disebut tayib apabila makanan-minuman itu tidak mengandung zat-zat yang merusak tubuh. Dan pembuatannya, pengemasannya, hingga pendistribusiannya tidak merugikan pihak-pihak tertentu, dan pastinya tidak merusak kelestarian alam. Ini penting, ini PR besar kaum Muslim di era modern! [IB]