BANDUNG (Panjimas.com) – Suara bukan sekadar bunyi yang keluar dari suatu instrumen. Dalam ilmu Fisika, suara merupakan gelombang mekanik yang merambat melalui udara. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kajian dari Dr. Andri Abdurochman, S.Si., M.T., Dosen Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung.
Pada penelitian yang dilakukan, Dr. Andri bersama tim dari Laboratorium Fisika Instrumentasi (dahulu Instrumentasi Elektronika) mencoba melakukan identifikasi emosi manusia berdasarkan suara yang diucapkannya sejak 2006. Penelitian yang merupakan research grant Technological and Professional Skill Pevelopment sector project (TPSDP) Dikti tersebut dapat juga dimanfaatkan untuk menentukan bagaimana membedakan suara manusia yang diucapkan secara natural dengan suara yang dikeluarkan ketika melakukan peran (acting).
Dengan mengambil sampel suara beberapa individu, Dr. Andri dan tim kemudian melakukan ekstraksi untuk mengambil parameter-parameter suaranya. Parameter-parameter ini pula yang kemudian akan dipakai untuk menentukan bagaimana jenis emosi manusia dilihat dari suara yang dikeluarkan/diucapkan.
Dr. Andri pada awalnya merekam suara seseorang tanpa emosi, sebagai baseline. Hal ini untuk menentukan bagaimana parameter-parameter suara tanpa emosi tersebut. Setelah itu, dengan dibantu beberapa mahasiswa Fisika, Dr. Andri pun merekam suara ketika marah, sedih, hingga tertawa.
“Kami buat orang menjadi marah betulan dan mengeluarkan suara (berbicara). Kami rekam, kami ekstraksi, dan akhirnya kita tahu bagaimana distribusi parameter suara yang marah. Kemudian itu jadi database kita,” jelas Dr. Andri saat diwawancarai Humas Unpad beberapa waktu lalu.
Setelah memiliki database tersebut, Dr. Andri dan tim kemudian mengambil sampel kedua dengan merekam suara beberapa aktor peran dari beberapa film. Ia merekam suara aktor saat memerankan akting marah, sedih, serta tertawa. Suara ini kemudian diekstraksi dan diambil parameter suaranya.
Proses ekstraksi yang dilakukan adalah untuk menentukan intonasi dan frekuensi suaranya. Dr. Andri menjelaskan, frekuensi suara manusia biasanya hanya memiliki 5 oktaf. Setiap oktaf memiliki range tersendiri.
“Ketika orang marah, oktaf dalam suara akan naik, tetapi maksimalnya sampai 5 oktaf saja,” kata dosen kelahiran Bandung, 26 Mei 1974 tersebut.
Langkah selanjutnya, Dr. Andri membandingkan dua parameter suara dari sampel pertama dengan sampel kedua melalui software yang dikembangkannya di laboratorium. “Kita buat software dan diprogram untuk mengenali suara acting atau natural. Software tersebut hampir 90% mengetahui ini acting atau natural,” kata Dr. Andri.
Selain mengenali emosi, Dr. Andri juga tertarik untuk mengetahui efek gelombang suara pada tubuh manusia. Pada tahun 2007, ia membandingkan suara bacaan (murattal) Kitab Suci Al-Quran terhadap musik klasik dan musik terapi relaksasi untuk digunakan sebagai terapi menurunkan stres.
“Penelitian menunjukkan, suara bacaan Al-Quran memiliki tingkat relaksasi paling baik dibanding musik klasik atau musik relaksasi lainnya,” ungkapnya.
Hal ini dibuktikan melalui penelitian tahun 2010 yang dilakukannya terhadap beberapa naracoba anak-anak dan remaja usia sekolah (SD, SMP dan SMA) dari sebuah Yayasan di Desa Ciluncat, Kecamatan Cangkuang. Untuk beberapa waktu, anak-anak ini diberikan musik yang bisa meningkatkan stres. Dr. Andri pun melakukan perekaman otak si anak untuk mengetahui bagaimana frekuensi gelombang otak yang ditimbulkan dari musik pembangkit stres itu.
Kemudian sang anak diberikan terapi mendengarkan bacaan Al-Quran selama tiga bulan, kemudian diperdengarkan kembali musik yang bisa meningkatkan stres. Hasilnya menunjukkan, daya tahan anak terhadap stres pada kesempatan kedua jauh lebih kuat daripada pada saat pemberian musik yang pertama jika dilihat dari rekaman gelombang otaknya.
“Anak yang sudah didengarkan suara bacaan (terapi) Al-Quran akan jauh lebih tenang dan lebih tahan terhadap stres,” simpulnya.
Adapun bacaan Al-Quran yang didengarkannya merupakan kumpulan ayat-ayat yang memiliki satu kata yang sama. Dr. Andri mencari kata di dalam Al-Quran yang bermakna positif lalu mengumpulkan bacaan (murattal) ayat-ayat tersebut.
Lulusan program Doktor di Université de Strasbourg, Perancis ini mengungkapkan, efek ini muncul karena relaksivitas yang dihasilkan akibat mendengar bacaan tersebut. Ini disebabkan setiap sel dalam otak manusia punya frekuensi alamiah masing-masing. Pada saat otak diberikan stimulus berupa suara, jika spektrum frekuensi suaranya itu adalah berbanding lurus dengan frekuensi natural sel, maka si sel akan beresonansi.
“Ketika resonansi itu, si sel kemudian bisa aktif atau memberikan sinyal ke kelenjar dalam tubuh untuk mengeluarkan hormon, karena si kelenjar kesehatan itu akan aktif hanya pada kondisi tertentu, misalnya tidur,” jelas Dr. Andri.
Pada saat mendengar bacaan Al-Quran, otak mengalami relaksasi yang baik sehingga seolah-seolah sedang berada dalam keadaan tidur. Pada kondisi tersebut, sel kemudian memberikan sinyal ke kelenjar dalam tubuh untuk mengeluarkan hormon. Kondisi inilah yang dialami oleh seseorang ketika melakukan terapi tersebut.
Lebih lanjut Dr. Andri menjelaskan, sesuatu yang dilakukan atau didengarkan berulang-ulang juga akan memiliki efek hipnosis. Berdasarkan kemampuan peningkatan daya tahan naracoba karena bacaan Al-Quran, ia juga dalam penelitian pada bidang komunikasi kedokteran gigi. Pada penelitian tersebut, Dr. Andri berperan dalam pengolahan data frekuensi dan spektrum suara pada saat kata-kata hipnosis tersebut disampaikan kepada naracoba, serta respon otak (rekaman elecro-encephalogram) terhadap hipnosis.*
Laporan oleh: Arief Maulana. [AW]