YOGYAKARTA (Panjimas.com) – Tak kenal maka tak sayang. Kalimat ini cukup sebagai pembuka untuk mengulas sebuah atribut kaum muslimin yaitu penutup kepala yang bernama peci atau kopyah.
Kali ini bukan peci biasanya yang berbentuk bulat, berwarna putih polos atau sedikit motif atau berbentuk songkok yang seringkali dikenakan para petinggi negara seperti Bung Karno. Namun sebuah peci batik Jogokariyan yang fenomenal yang dikenakan oleh artis hijrah, pejabat Kepolisian, Tentara, Menteri Sandiaga Uno, Prabowo, Ustadz Abdul Somad dan banyak lagi yang ikut mengenakan sekaligus mengendorse peci ini.
Namun peci batik yang diluncurkan Masjid Jogokariyan ini mengandung makna sejarah yang dalam.
Ustadz Muhammad Jazir ASP tokoh penting di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta menjelaskan filosofinya bahwa ternyata peci tersebut meniru atau mengadopsi sorban yang dikenakan oleh abdi dalem ulama kraton Yogyakarta yang disebut abdi dalem Suronoto.
“Suro itu berani, noto itu raja. Jadi dalam konsep kerajaan kesultanan Jogja itu yang berani terhadap raja artinya yang bisa mengatur para raja itu adalah para ulama. Jumlahnya ada 12 orang sehingga disebut abdi dalem Haji Selusin, karena ikat kepalanya putih, sorbannya putih maka disebut abdi dalem pamethakan,” terang Ustadz Jazir kepada Panjimas.com, Sabtu (27/2/2021).
Menurut Ustadz Jazir, abdi dalem Suronoto kala itu bertugas mengontrol raja, memberikan nasehat, meluruskan, bahkan menegur. Perannya sebagai ulama harus berani kepada raja yang melakukan kesalahan. Oleh karena itu dinamakan Suronoto.
Bahkan ada sebuah kampung di Jogja yang bernama Suronatan, kampung tempat tinggalnya para abdi dalem ulama Suronoto.
Semangat itulah yang ingin dibangkitkan lagi di Masjid Jogokariyan. Tetapi tidak lagi putih karena Jogokariyan sendiri adalah kampung pembatik, maka dari itu diambilah motif batik. Namun pesan pemantik semangatnya tetep harus Suronoto.
“Jadi kita harapkan kalau sudah pake peci ini kalau ada Noto atau raja atau penguasa yang salah dan menyimpang kita harus berani meluruskan, berani mengingatkan, berani menegur. Jadi jangan pakai peci ini kalau ada kedzoliman diam saja, kesalahan raja diam saja, jadi kita harapkan rakyat itu dengan memakai peci ini sebagai gerakan kultural harus berani menegur, meluruskan, mengingatkan dari langkah-langkah penguasa yang salah,” tutur Ustadz Jazir.
Peci batik Jogokariyan itu sendiri telah dirintisnya sekitar tahun 2003 yang mana ketika itu banyak pergolakan politik dan terjadinya aksi-aksi demo umat di masa Gus Dur.
Ditambah konflik Ambon yang tengah berkecamuk dan lain sebagainya yang disikapi dengan congkak oleh penguasa. Maka Masjid Jogokariyan yang dipimpin oleh Ustadz Jazir merespon dengan membuat gerakan membangun keberanian untuk meluruskan pemimpin yang keliru. Sebagaimana yang dilakukan oleh adbi dalem ulama Suronoto. Maka diluncurkannya peci batik Jogokariyan.
Peci batik Jogokariyan selain diharapkan menjadi pengingat sejarah yang mendorong kecintaan dan semangat perjuangan pada hari ini, juga memiliki nilai ekonomis yang menjadi sarana mengembangkan dan mensejahterakan jama’ah dan masyarakat sekitar. Bahkan produknya kini tak hanya tersebar di dalam negeri, namun telah menembus pasar internasional. Salah satunya ekspor ke Malaysia sampai 10 kontainer.
“Jadi orang tertarik bukan sekedar karena pecinya, tapi ruh ideologisnya. Di dalam itu Suronoto keberaniannya untuk menegur raja-raja yang salah itu intinya,” jelasnya.
Dari hasil penjualan peci batik Jogokariyan, para pengrajin menyerahkan 5% dari penjualannya masuk ke kas Masjid. Yang tentunya semakin laris, maka masjid semakin mendapat pemasukan lebih banyak.
“Sebenarnya itulah fungsi masjid untuk membangkitkan ekonomi masyarakat, ini masyarakat bekerja punya penghasilan, masjid dapat bagiannya, masjid dengan jejaring jama’ahnya menciptakan pasarnya,” pungkas Ustadz Jazir yang juga mengenakan baju batik khas Jogokariyan.