LEBAK-BANTEN (Panjimas.com) — Ustaz Adung yang selama ini membina para mualaf Baduy menceritakan tentang pengorbanan mualaf Baduy. Diantara mereka ada yang berpisah dengan suaminya, istrinya, orangtua, bahkan anggota keluarga mereka. Karena aturan adat tadi yang mengharuskan mereka keluar dari kampung Baduy Dalam jika sudah menjadi muslim.
“Namun, pilihan para mualaf Baduy untuk memeluk Islam tidak pernah dipersulit oleh Pu’un. Justru, yang dipersulit, ketika ada warga Baduy Dalam yang akan masuk agama selain Islam (non-muslim),” kata Ustaz Adung menambahkan.
Ustaz Adung mengaku prihatin dengan keberadaan para mualaf Baduy yang kurang mendapat perhatian, baik dari pembinaan agamanya maupun ekonominya. “Diantara mualaf Baduy yang tinggal di hutan-hutan, masih ada yang tinggal di sebuah rumah dengan ukuran 3×3 meter yang dihuni untuk tiga kepala keluarga.
Saat ini Ustaz Adung telah membina 15-30 keluarga mualaf Baduy. Sedangkan di pesantrennya, ada sekitar 60 anak-anak mualaf Baduy, laki-laku dan perempuan untuk belajar membaca Al Qur’an. “Memang perlu ada pembinaan khusus untuk mualaf Baduy. Nasib mereka tidak ada yang memperhatikan,,” kata Ustaz Adung yang dibantu oleh satu orang.
Bicara pembinaan para mualaf, disini bukan tidak ada kiai, tapi belum ada, bahkan masih sedikit yang mau meluangkan waktunya untuk melakukan pembinaan. “Banyak warga Baduy yang masuk Islam, tapi gak ada yang respon. Saya, setiap mendengar keluhan mualaf Baduy, ada kendala soal jarak. Bagaimana shalat berjamaah dan belajar Al Qur’an, sedangkan tempat tinggal mereka di hutan-hutan.”
Sedangkan keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) di sini, hanya mengurus soal nikah saja. Tidak berpikir tentang bagaimana upaya pembinaan terhadap mualaf Baduy. “Emang yang diurus KUA cuma nikah saja. KUA nggak cukup memberi sertifikat keislaman mereka. Harus ada yang membina, bukan hanya agamanya, tapi juga ekonominya. Itu jauh lebih penting.” (des)