PALU (Panjimas.com) – Pemuda berjenggot lebat dan berbadan tinggi besar itu berbaris saat apel pagi di Posko Induk Lazis Wahdah Peduli Gempa Palu. Sudah dua pekan, lelaki bernama Muhammad Fuad bin Muslim itu menjadi relawan kemanusiaan untuk membantu saudara-saudaranya yang terkena bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
“Saya ditempatkan di divisi trauma healing dan inisiatif. Tugas saya adalah keliling, mencari tahu lokasi mana saja yang belum tersentuh bantuan logistik dan dapur umum. Termasuk mengantisipasi jika terjadi kristenisasi di tempat pengungsian. Dalam menjalankan misi kemanusiaan, kami juga melayani korban gempa yang tak seakidah sekalipun,” ungkap Fuad.
Untuk mengenal lebih dekat, Fuad ternyata pemuda yang baru setahun hijrah dari dunia gemerlap. Masa lalunya, ia habiskan waktunya untuk kobam alias mabuk-mabukan di “hutan” bersama teman-teman nongkrongnya. Ketika itu Fuad dijuluki Pablo Escobar dari Makassar.
“Hutan adalah sebutan kami untuk berkumpul bersama teman-teman mabok di tempat sejenis club malam. Makassar itu sudah seperti Jakarta, gue hidup di gemerlap kota yang penuh kebebasan,” kenangnya.
Suatu malam, Fuad tiba-tiba saja enggan masuk ke “hutan”. Ia hanya berdiam diri di luar hutan selama tiga jam. Padahal “alat tempur” (miras) – begitu Fuad memberi istilah, sudah tersedia.
“Malam ini gue nolak masuk hutan. Gue Cuma masuk saat ke toilet, lalu keluar lagi, enggan bergabung bersama-sama teman kobamnya (mabuknya). Temen-temen gue heran. Mereke menilai ada sesuatu yang aneh dalam diri gue. Termasuk tukang parkir dan security yang mengenal gue.
Fuad merasa malam itu ada sesuatu yang merasuki dirinya. Suatu ketika saat azan Subuh berkumandang, hati Fuad bergetar. Ia tak tahu, apakah ini yang katakan hidayah. Kemudian Fuad bangkit, membasuh wajahnya dengan air wudhu, lalu melangkah ke masjid. Usai shalat subuh berjamaah, ia menangis sejadi-jadinya. Ia berdoa, jika Allah memberi umur panjang, berilah kesempatan dirinya untuk berhijrah. “Gue memang terbiasa begadang, karena insomnia. Saat azan Subuh, aneh saja, gue tiba-tiba ingin ke masjid,” tukasnya.
Tentu saja proses hidayah tak datang begitu saja. Berawal dari teman lama saat bertemu dengannya. Jordan bin Husain, adalah kawan Fuad yang sebelumnya tukang mabok. “Dulunya teman gue itu tengil banged. Boleh dibilang temen gue itu legend. Tapi kini, dia sudah berubah. Itulah yang membuat gue bertanya-tanya, kok bisa berubah? Lalu dia tepuk pundak gue seraya berkata, kematian tak menunggu seseorang untuk bertobat.”
Ucapan itu rupanya memberkas di benak Fuad. Ia kepikiran terus dengan kata kematian. Setiap yang bernyawa akan merasakan yang namanya kematian. Ayat itulah yang selalu membayangi Fuad. Setiap kali mengingat kematian, Fuad merasakan khusyu dalam shalatnya, hingga air mata menetes di pipinya.
“Dulu shalat gue blentang-blentong. Sekalipun shalat, tapi hatinya kemana-mana. Padahal rumah gue dengan masjid cuma beberapa langkah saja, dekat. Sekarang, gue merasa gurihnya ibadah shalat. .Allah menanamkan dalam hati gue rasa jenuh pada pergaulan gue sebelumnya, tempat yang membuat gue tersesat dan jauh dari Allah. Alhamdulillah, sekarang gue punya kompas yang memberi petunjuk jalan,” tuturnya.
Singkat cerita, Fuad bergabung di Komunitas Sahabat Hidayah di Makasar, yang anggotanya ada 80 orang. Di awal-awal hijrah, gue menjadi sering mendengar tausyiah dari para ustadz di youtube. Diantaranya Ustadz Khalid Basalamah yang kelahiran Makassar, atau Ustadz Firanda Andirja yang asal Bone, Sulawesi Selatan. Termasuk Ustadz Hanan Attaki, ustadznya yang dikenal di kalangan anak muda.
“Di awal hijrah, temen-temen nongkrong gue mulai menjauh. Kalaupun gue ketemu teman-teman mabok gue dulu, gue nggak ingin berlagak kayak ustadz. Kecuali jika ada yang bertanya, gue akan menjawab pertanyaan mereka. Gue cuma ingin silaturahim dengan temen-temen lama gue,” pungkasnya.
Saat Fuad hijrah, ia mengubah total penampilannya. Ia bergamis, mengenakan celana di atas mata kaki. Bahkan saat berjabatan tantenya, ia tak bersentuhan tangan. “Kalau jenggot dari dulu gue memang sudah berjenggot lebat. Termasuk gue sudah berhenti merokok sebelum hijrah. Awalnya keluarga gue sangat khawatir dengan hijrahnya gue. Mereka khawatir gue masuk aliran teoris.”
Jika mengingat masa lalunya, Fuad mengaku semua kesenangan yang diperolehnya hanyalah semu. “Di dalam hutan (club malam), gue ikhtlat dengan lawan jenis. Jika ada masalah keluarga, di hutan inilah tempat menyelesaikan masalah, padahal hanya menambah masalah. Kesenangan dan teman pun palsu.”
Subuh dan kematian menjadi jadi titik balik hijrahnya. Fuad mulai merasakan penyesalan dengan hijrahnya. Ia menyesal kenapa baru sekarang hijrahnya. Kenapa nggak dari dulu.
“Setiap gue kumpul dengan komunitas sahabat hidayah, gue selalu foto kita di grup. Gue memang nggak grup ini sepi. Sebab kalau sepi, bisa-bisa gue kembali dengan teman-teman lama dulu. Akhirnya grup itu makin lama makin rame, dan mencoba membuat kegiatan, seperti tabligh akbar atau taklim rutin. Soale dulu, sebelum hijrah, gue suka membuat party-party yang nggak jelas.”
Fuad kemudian mengubah nama komunitas sahabat hidayah menjadi sahabat hijrah, dimana ia menjadi wakil ketuanya. Melalui komunitas hijrahnya, ia ingin berdakwah, dimulai dari keluarganya hingga teman-teman lamanya yang masih berkubang di dunia gemerlap.
“Tunjukkan saja dengan akhlak, nasihati dengan cara yang baik, lebih kepada sharing . Dulu kita sama-sama nakal. Dulu kalau diajak hal-hal yang negatif. Harapan gue simpel, berdoa semoga sahabat hijrah tetap istiqomah, mati dalam khusnul khatimah, dan menjadi Islam secara kaffah. Hidup adalah perjuangan, maka jangan hidup tanpa perjuangan,” ungkap Fuad.
Ia sedikit bercerita ihwal bergabungnya sebagai relawan Lazis Wahdah di palu. “Awalnya saya mengikuti taklim yang diisi oleh Ustadz Ikhwan Abdul Jalil, salah seorang ustadz dari Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar. Bagi gue, beliau adalah sumber ilmu. Saat bencana alam terjadi di Palu, gue tergerak untuk membantu saudara-saudara gue yang tertimpa musibah,” kata lelaki kelahiran Ujung Pandang, 18 Februari 1994 yang lalu.
Saat ini Fuad sedang giat berbisnis. Berlatar belakang seorang model (endorse pakaian dari luar negeri), Fuad yang pernah kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, angkatan 2013, jurusan ekonomi ini, memiliki perusahaan wedding dan fashion muslim.
“Gue mau ciptakan dan endorse celana cingrang yang tidak terkesan kampungan, bisa diterima orang muda. Begitu juga sendalnya. Sehingga anak muda yang berhijrah tetap bisa nyunnah. Resmi bisa, santai bisa,” kata Fuad bahagia. (des)