(Panjimas.com) – Suatu hari, pada bulan Sya’ban 541 H, di desa Jamma’il, Nabulsi, dekat Baitul Maqdis, lahirlah seorang bayi, putra Abul Abbas Ahmad Bin Muhammad rahimahullah. Bayi lelaki yang diberi nama al-Muwaffaq kelak menjadi seorang ulama besar yang ahli fiqih. Kebesarannya tak hanya berada pada satu generasi, di masanya saja. Sejarah peradaban Islam mencatat dengan nama masyhurnya, Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah.
Di masa al-Muwaffaq masih kecil, tempat tinggalnya mengalami ancaman keamanan karena pasukan Salib mengusik Baitul Maqdis. Demi menyelamatkan masa depan, dan juga sebagai strategi perjuangan, keluarganya mengajaknya hijrah ke Damaskus, tepatnya ke lereng bukit ash-Shaliya. Saat itu ia berumur 10 tahun (pada 551 H).
Di Damaskus, selama dua tahun keluarganya tinggal di Masjid Abu Salih, di luar gerbang timur kota. Selanjutnya, mereka pindah ke kaki gunung Qaisun di Shalihia. Di masa-masa itu al-Muwaffaq menghafal al-Quran dan menimba ilmu dasar kepada ayahnya. Ayahnya adalah seorang ulama terhormat yang bergaya hidup zuhud. Selain kepada ayahnya, ia lantas berguru pula kepada para ulama Damaskus.
Menginjak umur 20 tahun, al-Muwaffaq pergi ke Baghdad bersama sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah, yang waktu itu juga ikut hijrah. Di kota ilmu tersebut, semula mereka berdua tinggal di rumah Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah yang saat itu sudah berumur 90 tahun. Kitab Mukhtasar al-Khiraqi (kitab fiqih madzhab Hanbali) dipelajari dari ulama sepuh itu degan teliti dan mendalam. Sebelumnya, saat di Damaskus, ia sudah menghafal kitab itu di samping beberapa kitab lainnya.
Setelah ulama bergelar Sulthan al-Auliya itu wafat, al-Muwaffaq berguru kepada Nashih al-Islam Abul Fath Ibnu Manni rahimahullah, mengkaji madzab Hanbali dan perbandingan madzab. Ia juga mengkaji hadis dengan sanad mendengar langsung dari Imam Hibatullah Ibnu ad-Daqqaq rahimahullah dan lainnya. Setelah empat tahun di Baghdad, ia kembali ke Damaskus mengunjungi keluarga, dan sempat berhaji pada 574 H. Ia kembali ke Baghdad pada 576 H guna melanjutkan pendalaman ilmunya. Di sana ia melanjutkan kajian hadits selama satu tahun dengan sanad dari Abdul Fath Ibnu al-Manni, lalu pulang lagi.
Kedalamannya mengkaji Mukhtasar al-Khiraqi, hadits, dan berbagai bidang keilmuan lainnya, menjadi bekal al-Muwaffaq mensyarah kitab fiqih madzhab Hanbali sampai lahirlah kitab al-Mughni Syarh Mukhtasar al-Khiraqi. Dalam khasanah literatur Islam, kitab ini tergolong kitab kajian fiqih terbesar.
Kitab al-Mughni diakui kualitasnya oleh para ulama. Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata, “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum menyanding al-Mughni.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berlomentar, “Setelah al-Auza’i, tak ada orang yang masuk ke negri Syam yang lebih mumpuni di bidang fiqih dari al-Muwaffaq.”
Kedalaman ilmu al-Muwaffaq alias Ibnu Qudamah rahimahullah tak hanya tertulis dalam kitab dan terucap dari lisan, akan tetapi juga tampak jelas dalam kepribadian. Gaya hidupnya mengikuti jejak generasi shahabat: zuhud dan wara’, sangat menjauhi gemerlap dunia. Ia pemaaf, tidak kaku, pemalu, serta sangat rendah hati. Keshalihan sosialnya begitu tinggi: peduli kepada orang yang kesusahan, banyak berkorban untuk orang lain. Kecerdasannya membuat ia sedikit bicara tapi giat bekerja. Auranya teduh, menenteramkan orang yang memandang. Ia pun pernah terjun ke medan perang bersama panglima Shalahuddin al-Ayubi rahimahullah melawan pasukan Salib.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah wafat pada hari Sabtu, tepat saat Idul Fithri 629 H, dan dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami’ al-Hanabilah, masjid besar yang menjadi basecamp para pengikut madzab Hanbali.
Wallahu a’lam. [IB]