Jakarta (Panjimas.com) — Profesor Hamka adalah pribadi yang kompleks. Ia bukan hanya sekedar wartawan penulis dan editor, tetapi juga adalah sastrawan yang prolifik dan sekaligus sejarawan dan ulama terkemuka. Tak kurang pentingnya, Buya Hamka adalah ulama/intelektual-cum-aktivis sosial-budaya dan agama yang melalui pengalaman langsung, observasi, dan aktivisme menuliskannya dalam karya tulis reflektif yang tajam dan menggigit.
Demikian pemaparan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Azyumardi Azra, CBE, dalam makalahnya yang berjudul “Perjuangan Politik dan Pendidikan Buya Hamka”, dalam Seminar Nasional “Membedah Pemikiran Buya Hamka dalam bidang Teologi, Fiqh, Harakah, Sastra, Pendidikan dan Tasawuf di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al Azhar, Kamis (15/2).”
Makalah itu disampaikan dalam rangka milad ke 66 Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar dan Milad ke 110 tahun Buya Hamka. Direktorat Dakwah dan Sosial YPI Al Azhar menggelar
Menurut Azyumardi, membaca karya sastra Hamka beserta banyak karya lain menyangkut agama, khususnya Islam, terlihat bahwa ia adalah seorang sastrawan-cum-intelektual yang rebellious, yang nampaknya banyak bersumber dari pengalaman pahitnya di masa kecil.
Sebagai sastrawan, Hamka memiliki intelektualisme yang kosmopolitan melalui bacaannya atas karya sastrawan, filsuf, sejarawan, ideolog dan seterusnya semacam Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Akkad, Mustafa al-Manfaluti, Hussain Haykal, Albert Camus, William James, Sigmud Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Pierre Loti dan banyak lagi.
Hamka dengan demikian memberikan contoh tentang keluasan bacaan, tanpa prasangka yang kemudian dia refleksikan secara kritis. Sikap intelektual Hamka seperti ini jelas sangat relevan dan kontekstual dengan tantangan kaum intelektual dan ulama Nusantara masa kini dan mendatang, yang harus terus membuka perspektif dan horizon intelektualisme kritis mereka di tengah lingkungan yang terus berubah dan berkembang sangat cepat.
Selanjutnya, sebagai sastrawan dan intelektual ‘organik’, Hamka menghasilkan karya-karya sangat distingtif, yang bukan hanya sarat dengan pesan-pesan keislaman, tetapi juga sekaligus merupakan refleksi imajinatif dan kritis terhadap lingkungan keagamaan, sosial, budaya dan politik yang mengitarinya.
Melalui karya-karya sastranya, Hamka menyampaikan kritik-kritik tajam terhadap aspek-aspek adat, khususnya adat Minangkabau—juga bisa berlaku untuk adat suku bangsa lain di Indonesia—yang sebagiannya masih bertahan sampai hari ini. Masih banyak aspek adat tertentu, baik di Minangkabau maupun bagian Dunia Melayu lain yang mengandung persepsi stereotipikal satu sama lain.
Sastra kritis Hamka itu, sebagai contoh, misalnya novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939). Melalui kisah cinta Zainuddin dan Hayati, Hamka mengungkapkan konflik karena perbedaan kelas sosial yang tercipta akbat adat Minangkabau.
Kritik Hamka terhadap aspek tertentu adat Minangkabau juga disampaikannya melalui novel Merantau ke Deli (1959) dalam kisah percintaan dan kehidupan pasangan suami Leman (asal Minangkabau) dan istrinya Poniyem (asal Jawa) yang semula berbahagia meski berbeda suku.
Tragedi pasangan suami-istri itu terjadi ketika keluarga Leman memaksakan tradisi adat Minangkabau dengan menikahkan Leman dengan Mariatun, perempuan Minang.
Karya sastra Hamka beserta karya-karya dia lainnya, khususnya bidang agama (Islam), sejarah, dan politik jelas melintasi batas-batas Minangkabau. Sebaliknya bersifat nasional, regional dan internasional. Hal ini dilihat dari kenyataan bahwa karya-karya masih dibaca di banyak bagian Dunia Melayu-Nusantara. (ass)