(Panjimas.com) – Muhammad bin Thayyib bin Muhammad Abu Bakar al-Qadhi rahimahullah, atau yang masyhur dengan al-Baqillani, seorang ulama kelahiran Bashrah, Iraq, 958 M, suatu hari diutus rajanya, ‘Adlud ad-Daulah, mengantar surat ke Konstantinopel. Surat itu tertuju kepada Raja Romawi.
Mendengar kabar akan kedatangan tokoh besar Muslim dari Bashrah, Raja berpikir mencari cara bagaimana agar utusan agung yang berbeda keyakinan itu mau melakukan sikap yang menjadi simbol penghormatan pada dirinya: membungkuk di hadapannya. Ia sudah paham sebelumnya bahwa utusan dari negeri Muslim itu tak akan mau melakukannya tanpa dipaksa.
Rupanya cerdas juga akal Sang Raja. Tanpa menggunakan kekerasan, ia akan membuat al-Baqillani terpaksa membungkuk di depan singgasananya. Ia meminta punggawanya menggelar permadani panjang melewati pintu rendah yang orang dewasa harus menunduk saat melewatinya. Raja merasa kemenangan sudah berada di tangan, al-Baqillani bisa ditundukkan.
Benarkah cara itu cukup manjur? Benarkah al-Baqillani akan membungkukkan badan saat memasukinya, yang artinya juga membungkukkan badan di hadapan raja? Tentu saja. Imam yang tinggi ilmunya dan disegani dinegerinya itu mau tak mau membungkukkan badan saat memasuki pintu itu. Ia berjalan dengan posisi rukuk. Tapi, kecerdikannya membuat dirinya tak perlu membungkuk menghadap dengan menghadap ke singgasana raja. Bagaimana caranya? Sesampai di muka pintu kecil itu, ia membalikan badan lalu membungkuk lalu berjalan mundur sampai di ruang seberang tepat raja berada. Artinya, ia tidak membungkuk menghadapi raja tapi sebaliknya, membokongi raja. Pantatnya yang dihadapkan ke muka raja, bukan kepalanya. Sungguh cerdik dan berani luar biasa.
Betapa malunya Raja Romawi di hadapan para punggawa dan pendeta yang ada di majelisnya. Ia semakin sadar kalau tamunya bukan orang sembarangan yang begitu mudah ditundukkan.
Setelah al-Baqillani duduk di majelis kerajaan, seorang pendeta Nashrani mengajaknya berdialog guna menguji kecerdasan ulama Bashrah ini.
“Wahai Abu Bakar, Aisyah istri nabimu kok dikabarkan selingkuh?” nadanya menjatuhkan.
“Maryam ibunya Nabi Isa malah dikabarkan berzina. Tapi Allah menjamin kesucian beliau berdua. Mereka tak mungkin melakukannya,” jawab al-Baqillani tenang. Suasana menjadi hening karena semua terdiam.
Dalam keheningan, Sang Imam membuka suara, menyapa para pendeta, “Bagaimana kabar Tuan-tuan dan anak istri semua?”
Semua bungkam, tapi pasti ada gemuruh hebat di dalam hati mereka. Sang Rajalah yang akhirnya angkat bicara menanggapi pertanyaan ganjil ini.
“Pendeta adalah orang suci, mereka tak mungkin punya istri, apalagi anak!” ucapnya geram.
Ringan saja al-Baqillani menanggapi.
“Tuan Raja, kalau kesucian itu tandanya tak punya istri dan anak, mengapa Anda dan para pendeta Anda menganggap Allah memeristri Maryam yang akhirnya melahirkan Isa, apakah Allah tidak suci?”
Seperti petir yang menyambar kubah istana, semua terhenyak mendengar perkataan utusan Muslim ini. Tapi, rupanya raja Romawi masih punya satu senjata lagi.
“Wahai utusan,” ucap Raja, “apakah nabimu terjun ke medan perang?”
“Iya,” jawab al-Baqillani.
“Apakah ia ada di barisan depan?”
“Iya.”
“Apakah ia pernah menang?”
“Pernah.”
“Dan pernahkah ia kalah?”
“Pernah.”
“Hahaha… Nabi kok kalah perang?” raja Romawi merasa telah mampu menaklukkan Sang Imam. Tapi ternyata…
“Tuhan kok disalib?!” cetus al-Baqillani ringan.
Semua orang gelagapan.
Begitulah fragmen pertemuan al-Baqillani rahimahullah dengan Raja Romawi saat diutus mengantar surat. Dari kisah tersebut kita bisa memetik pelajaran bahwa ilmu adalah bekal perjuangan yang sangat luar biasa ampuhnya. Ilmu bak tameng dan pedang tak kasat mata. Ia tersimpan di kedalaman dan hanya bisa diperoleh melalui proses panjang. Ilmu tak bisa dibeli dengan uang yang dalam sekejap bisa dibawa pulang. Pepatah Jawa mengatakan, “Ngelmu iku kalakone kanthi laku (ilmu itu tercapainya dengan perjalanan).”
Muslim yang kurang bekal ilmu akan melawan serangan musuh yang cerdik hanya menggunakan semangat dan kekuatan fisik, yang sering kali sangat tidak efektif, tidak efisien, bahkan menjadi bumerang bagi Islam dan Muslim sendiri. Dengan maraknya bentuk-bentuk “perjuangan” yang frontal membuat citra Islam dan Muslim di mata dunia kian buruk. Dan cara-cara frontal itu terbukti dalam berbagai kasus merupakan bagian dari strategi musuh Islam dalam menghancurkan Islam. Mereka memeralat segelintir orang Islam untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama, lalu tindakan tersebut disebarluaskan dan dibesar-besarkan oleh media massa. Lantas kaum Muslim harus keluar banyak energi untuk mengklarifikasinya.
Begitulah tipudaya tentara setan dalam menghancurkan peradaban Islam. Jangan sampai kita masuk perangkap ini. Caranya, kita giatkan thalabul ‘ilmi, kita kaji Islam secara luas dan mendalam, tidak fanatik golongan dan mudah menyalahkan bila menemui perbedaan.
Wallahu a’lam. [IB]