(Panjimas.com) – Seni sastra adalah salah satu media dakwah yang telah dipakai sejak lama. Di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ada Ibnu Rawahah radhiyallahu ‘anhu sebagai tokoh termasyhurnya. Kemudian di zaman setelahnya ada Jalaluddin Rumi yang hingga kini nama dan karya-karyanya masih mendunia.
Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakri rahimahullah, atau yang masyhur dengan nama Jalaluddin Rumi, adalah seorang penyair spiritual yang lahir di Balkh pada 6 Rabiul Awwal 604 H, atau 30 September 1207 M. Ayahnya seorang alim shalih yang menjadi guru di daerah yang kini bernama Samarkand itu.
Waktu Rumi berumur tiga tahun, ia dibawa orang tuanya pergi meninggalkan Balkh demi menyelamatkan diri dari serangan pasukan Mongol. Dalam pengembaraan, mereka sempat singgah di Kota Nishapur dan sejumlah daerah lainnya.
Pada 1244 M, Rumi bertemu Syaikh Syamsuddin dari Tabriz, seorang spiritualis yang kemudian memberi pengaruh besar padanya untuk mendalami tasawuf. Setelah guru itu wafat, Jalaluddin Rumi memeroleh guru baru bernama Husamuddin Ghalabi rahimahullah, yang kemmudian menginspirasinya untuk menulis al-Matsnawi al-Ma’nawi, karya masterpiece Rumi. Kitab tersebut berisi himpunan puisi. Dengannya ia melontarkan kritikan terhadap filsafat yang mengkultuskan logika dan melalaikan aspek rohani.
Karya-karya puisi Jalaluddin Rumi rahimahullah memiliki kekhasan tersendiri, baik dalam pesan maupun gaya penyajian. Dalam hal pesan, secara mendasar ia membangun pemikiran bahwa kerja fisik bukanlah segala-galanya, aktivitas rohanilah yang manjadi kunci keberhasilan seorang hamba. Dengan puisi-puisinya juga ia berjuang menanamkan aqidah tauhid dalam jiwa umat manusia.
Sedangkan ciri khas puisi Rumi dalam hal penyajian adalah, ia sering mengawali dengan kisah. Dan uniknya, berbagai kisah tersebut tidak nyambung bila ditilik dengan kacamata sejarah. Penyair ini biasa menampilkan tokoh-tokoh dengan zaman dan tempat yang tak sesuai dengan fakta. Namun sebagai puisi seorang Jalaluddin Rumi yang memang sangat maknawi, hal itu bukanlah persoalan. Karena, maksud penulisnya adalah bahwa kisah-kisah tersebut hanyalah sebagai imaji simbolik semata, demi agar lebih berkekuatan dalam menggugah jiwa.
Dan sejarah membuktikan bahwa puisi-puisi Jalaluddin Rumi memiliki kekuatan yang tak boleh disepelekan. Sampai saat ini, baris-baris kalimat itu masih terus dikaji oleh masyarakat sastra dunia dan diterjemahkan ke dalam beragam bahasa. Gaya bahasanya yang sangat sastrawi, yang butuh perenungan untuk memahami, diakui memuat pesan-pesan moral-spiritual yang dalam.
Satu pelajaran berharga dari pengalaman membaca karya Rumi adalah, bahwa penyair sufi satu ini mengajak pembaca sadar diri bahwa hidup adalah serangkaian proses. Guna mendapatkan sesuatu yang diinginkan, jangan berharap akan terlaksana secara instan. Begitulah pesan puisi yang sulit difahami. Dan hal ini penting untuk kita mengerti dalam era digital yang mengandung banyak sekali iming-iming instanisme ini.
Wallahu a’lam. [IB]