(Panjimas.com) – Salah seorang tabi’in generasi awal adalah Qais bin Abi Hazim rahimahullah. Literatur Islam banyak mencacatnya sebagai perawi hadits. Hadits-hadits yang dikabarkannya diriwayatkan oleh sejumlah perawi besar, di antaranya: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Malik, dan Imam ad-Darimi rahimahumullah.
Qais bin Abi Hazim hidup di masa Kekhalifahan Bani Umayyah. Sebagai perawi hadits, para ulama mengenalnya sebagai perawi yang tsiqah. Dalam kehidupannya, orang mulia yang tinggal di Kuffah ini dikenal zuhud, tak silau dengan gemerlap dunia. Gaya hidupnya mencerminkan keyakinannya akan hakikat dunia. Pemilik kunyah Abu Abdullah ini pun dikenal sangat berani berucap lantang di hadapan penguasa, bila memang ada hal yang harus diluruskan.
Suatu hari, saat menghadap, Qais bin Abi Hazim rahimahullah ditanyai Sang Khalifah, “Mengapa kita benci kematian dan gandrung pada dunia, wahai Abu Hazim?”
Sang Ulama pun menjawab tegas, “Karena kalian telah memakmurkan dunia namun menghancurkan akhirat. Jadi wajar, kalian tak mau pindah dari kemakuran menuju kehancuran!”
Sungguh menggelitik jawabannya. Sangat cerdas, mengena. Khalifah pun sedikit mengalihkan pembahasan dengan tawaran sangat menggoda.
“Wahai Abu Hazim, apa Engkau bersedia tinggal bersamaku dan Engkau akan berhak mendapatkan separoh dari istanaku?”
Khalifah tidak sedang main-main. Ia mengatakan apa yang telah matang dipikirkannya. Namun apa jawaban Qais? Sungguh luar biasa, ia seperti bukan manusia yang membutuhkan pijakan kaki berupa bumi.
“Engkau akan memberiku separoh sayap nyamuk? Cobalah lihat, betapa kecil dan tak berdayanya benda itu?!” jawab Qais retoris kritis.
Itulah potret pribadi Qais bin Abi Hazim rahimahullah. Sebuah tamparan keras bagi sikap mental kita saat ini. Siapa ulama zaman ini yang punya hati seputih yang ia punya? Adakah, di mana? Andai saja saat ini ada penguasa yang berani memberi iming-iming dunia seperti itu, atau sepuluh kali di bawahnya itu sajalah, bukankah ustadz atau kiai yang diajaknya bicara langsung membayangkan macam-macam kemegahan? Bayangan-bayangan yang sepertinya memang untuk umat: masjid, pondok pesantren yatim, pusat bisnis Muslim, dlsb; tapi kalau hati mau jujur, syahwat untuk menikmati kenikmatan dunia tetap bermukim di hatinya. Walaupun, di setiap mimbar ia melontarkan hadits “sayap nyamuk”. Dan itulah pangkal kerapuhan ulama.
Ulama, aktivis Muslim dari tingkat paling atas sampai paling bawah, bila masih ngiler dengan mobil baru dan rumah ber-AC, lebih baik jangan memimpikan kebangkitan umat! Belajar dulu gaya hidup bersahaja dari petani kecil di desa terpencil tempo dulu!
Wallahu a’lam. [IB]