(Panjimas.com) – Dalam rangka memerebutkan sejumlah wilayah di kawasan Asia Barat, Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) beberapa kali terlibat pertempuran dengan Kerajaan Persia. Dalam Perang Niniveh (626 M), Pasukan Byzantium berhasil memukul mundur rivalnya. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas.
Kemenangan gemilang Byzantium dirayakan oleh Kaisar Heraklius, penguasa Bizantium kala itu, dengan menziarahi Gereja Makam Suci di Yerusalem, Palestina. Pada saat agenda sakral itu berlangsung, datang padanya surat dari manusia mulia nan istimewa, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Surat tersebut berisi ajakan masuk Islam agar keberkahan meliputi segenap wilayah kekuasaan.
Kurir yang ditunjuk menyampaikan surat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bernama Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Beliau memerintahnya agar menyerahkan surat itu kepada pemimpin Bashrah, agar ia yang menyerahkannya kepada Kaisar.
Kaisar Heraklius merespon serius surat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ia menulis surat kepada tokoh Quraisy bernama Abu Sufyan bin Harb. Saat itu ia bersama rombongan kafilah dagang sedang berada di Syam. Rupanya itu surat undangan. Ia pun menghadiri undangan pertemuan penting yang dihadiri para pembesar Romawi yang bertempat di Yerusalem.
Dengan bantuan pengalih bahasa, Heraklius menanyai rombongan Abu Sufyan, “Siapa di antara kalian yang nasabnya paling dekat dengan orang yang mengaku Nabi itu?”
“Aku,” jawab Abu Sufyan.
Wawancara dimulai. Kaisar penganut Nashrani akan mengorek keterangan perihal pribadi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.
“Bagaimana nasabnya di tengah kalian?”
“Dia orang yang terpandang dalam masyarakat kami.”
“Apakah sebelumnya pernah ada orang yang mengajarkan seperti apa yang diajarkannya?”
“Tak ada.”
“Apa di antara leluhurnya ada yang menjadi raja?”
“Tak ada.”
“Siapa pengikutnya, kalangan terpandang atau kaum lemah?”
“Kaum lemah.”
“Bagaimana jumlah mereka, kian bertambah atau berkurang?”
“Kian bertambah.”
“Adakah pengikutnya yang murtad karena benci pada ajarannya?”
“Tak ada.”
“Apakah ia dikenal sebagai pembohong sebelum masa menyatakan ajarannya?”
“Tidak.”
“Apa ia pernah berkhianat?”
“Tak pernah.”
“Tak ada lagi pertanyaan yang bisa kuajukan guna mengorek keterangan tentangnya…” tapi kemudian Heraklius melanjut, “apakah kalian memeranginya?”
“Ya.”
“Bagaimana kalian memeranginya?”
“Peperangan kami lakukan berulang kali. Kadang kami yang menang dan kadang mereka yang menang.”
“Apa yang ia perintahkan kepada kalian?”
“Ia berkata, ‘Sembahlah Allah semata, jangan menyekutukan sesuatu pun denganNya, tinggalkan ajaran nenek moyang kalian!’ Ia juga memenyuruh kami shalat, bershadaqah, menjaga kehormatan diri, dan menjalin persaudaraan.”
Heraklius lantas mengutarakan pandangannya berdasar keterangan Abu Sufyan. Kalau ia dari keturunan orang terpandang, memang begitulah para Rasul yang diutus… dan seterusnya. Pemimpin negara adikuasa itu mengurai satu per satu jawaban atas semua pertanyaannya tadi. Dan ia menyimpulkan bahwa tak diragukan lagi Muhammad memang bukan orang biasa. Bahkan ia mengatakan, “Jika keteranganmu benar, orang itu kelak akan menguasai tanah yang kini kupijak. Jauh hari sebelumnya aku sudah mengira orang semacam ia akan muncul, tapi aku tak mengira kalau ternyata asalnya dari bangsa kalian. Andai aku bisa bebas bertemu dengannya, aku senang. Dan andai aku berada di hadapannya, pasti akan kubasuh kedua telapak kakinya!”
Luar biasa Nabi kita. Seorang pemimpin negara adikuasa yang berbeda agamanya saja dengan jujur mengatakan di muka jajarannya bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sosok sangat mulia. Walaupun selanjutnya ia tetap memegang agamanya semula, namun pemimpin Imperium Romawi itu mengakui keagungan pribadi beliau.
Lantas bagaimana dengan kita yang mengaku para pengikut beliau? Mari teladani Nabi kita dalam berperi kehidupan ini, agar dunia tahu bahwa Muslim itu makhluk mulia dan Islam itu jalan hidup menuju surga. Jangan sebaliknya, kelakuan kita membuat Din ini tampak hina di muka dunia!
Wallahu a’lam. [IB]