(Panjimas.com) – Di masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjabat Khalifah, ia mengangkat seorang lelaki bernama Syuraih menjadi qadhi (hakim). Saat itu ia masih muda dan bujang.
Suatu ketika, Syuraih rahimahullah berjalan di kampung Bani Tamim. Di sana ia melihat dua wanita duduk di atas hamparan tikar. Seorang paruh baya dan yang satunya masih muda. Parasnya cantik jelita.
“Aku minta minum kepada mereka,” kenang Syuraih.
“Minuman apa yang Anda suka?” tanya seorang dari keduanya.
“Seadanya,” Syuraih menjawab singkat saja.
“Beri ia susu! Kurasa ia orang asing,” si ibu memerintah putrinya.
Cantik parasnya, baik tingkah lakunya. Hakim muda pun terpesona pada gadis yang berlalu di depannya.
“Siapa gadis itu, Bu?” tanya Syuraih.
“Putriku,” jawab wanita itu lugu.
Suraih menyelidik, “Siapa (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana nasabnya)?”
“Dari Bani Hanzhalah,” singkat wanita itu menjawab.
“Ia kosong atau isi (maksudnya bersuami atau tidak)”? kejar hakim muda.
“Kosong.”
“Apakah Anda mengizinkan aku menikahinya?”
“Boleh, jika kamu sekufu,” jawab ibu mulai tak lugu. Ia mengajukan syarat demi kebaikan masa depan putrinya.
Setelah menghabiskan susu yang disuguhkan, Syuraih melanjutkan perjalanan. Sesampai rumah ia berniat tidur, tapi tak bisa.
Tak mau menunggu lama, Syuraih ingin segera menikahi gadis yang baru sekali dijumpainya. Ia mengajak beberapa sanak saudara berangkat ke kampung Bani Tamim guna melamar si gadis. Sesampainya di kampung itu, di rumah wanita yang duduk di hamparan tikar waktu itu, ternyata ada seorang lelaki selain si gadis dan ibunya. Ia adalah pamannya.
“Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?” tanya Paman.
Syuraih menjelaskan maksud kedatangannya. Tanpa kendala, pernikahan dilaksanakan hari itu juga. Usai dinikahkan, Syuraih pulang.
Sesampainya di rumah, Syuraih merasakan sesuatu yang mengganjal. Rasa sesal menghinggapi batinnya.
“Aku telah menikah dengan gadis dari keluarga Arab yang paling keras dan kasar,” batinnya.
Ia baru tersadar kalau wanita-wanita Bani Tamim keras perangainya. Seketika itu ia berniat menceraikannya. Tapi, sekejap kemudian ia berubah pikiran.
“Jangan diceraikan dulu, lihat dulu kelakuannya. Kalau baik, teruskan, kalau tidak, barulah akan kuceraikan.”
Beberapa hari kemudian wanita-wanita Bani Tamim datang ke rumah Syuraih mengantarkan istrinya. Setelah si istri dipersilakan duduk, Syuraih berkata, “Istriku, termasuk sunnah jika suami istri shalat dua rakaat berjama’ah.”
Mereka pun lantas menegakkan shalat sunnah. Selesai shalat, para pelayan mempelai wanita menyiapkan pakaian Syuraih dan memakaikan jubah yang telah dicelup minyak za’faran.
Setelah wanita-wanita Bani Tamim pulang dan rumah kembali sepi, Syuraih mendekati istrinya. Ia mengulurkan tangan ingin memeluknya. Tapi…
“Tetaplah di tempatmu!” cetus gadis di depannya yang baru saja dinikahinya.
Batin Syuraih berkecamuk. “Sebuah musibah telah menimpaku!” ucapnya dalam hati. Ia membaca wirid dengan suara lirih.
“Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tak akan melangkah kecuali untuk hal yang diridhaiNya. Dan Anda adalah lelaki asing bagiku, aku tak mengenal akhlaq dan kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya! Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya!”
Keras, tetapi sesungguhnya lembut sekali hati gadis ini.
Syuraih terkesiap. Ia kaget tapi berbunga-bunga. Tak menyangka, ternyata begitu mulia gadis yang baru saja dikenalnya dan kini telah jadi istrinya. Bukan kerasnya perangai seperti yang ia khawatirkan, tapi ketegasan sikap tanggung jawab seorang istri terhadap suami yang ia dapati darinya.
“Aku suka ini dan ini (ia menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang disukai) dan benci ini dan ini (ia menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang tidak ia sukai).”
Malam itu malam pertama mereka berdua. Malam itu malam yang penuh keindahan dan kenikmatan. Mereka berbulan madu tiga hari saja, karena Syuraih harus segera kembali bekerja.
Suatu hari ketika Syuraih pulang, ia melihat ibu mertuanya di rumah.
“Selamat datang, Ibu,” sapanya.
“Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?” sambut wanita yang lama tak dijumpainya.
“Baik, Bu. Alhamdulillah,” Syuraih tersenyum manis.
“Bagaimana dengan istrimu?” tanyanya lagi.
Penuh kegembiraan hakim muda menjawab pertanyaan mertua, “Ia wanita terbaik dan teman hidup yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik sekali, telah mengajarkan budi pekerti yang mulia kepadanya. Terima kasih, Ibu.”
Ibu bernasihat, “Seorang wanita tak terlihat paling buruk perilakunya kecuali dalam dua keadaan. Jika ia telah memeroleh tempat di sisi suaminya dan jika ia telah melahirkan anak. Nah, kalau kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang mendidik, tidak meninggalkan bekas)! Karena suami tidak memeroleh keburukan di rumahnya kecuali dari istri yang bodoh dan manja.”
Syuraih dan istrinya hidup bahagia. Mereka membina rumah tangga dengan bekal saling mengerti dan berbagi, saling mengingatkan dan menguatkan. Anak-anak dididik dengan penuh ketekunan. Diajarkan adab dan ketuhanan. Kadang kala orang tua dan sanak saudara mereka berkunjung ke rumah. Mereka bahagia melihat keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Wallahu a’lam. [IB]