(Panjimas.com) – Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, hidup seorang ulama besar yang dikenal zuhud dan berkeberanian tinggi. Adalah Imam al-Auza’i, atau lengkapnya, Abdurrahman bin Amr bin Yahya al-Auza’i rahimahullah.
Ia dilahirkan di kampung al-Auza’, dekat Kota Damaskus, Syam. Melalui masa kanak-kanak sebagai yatim, tak membuatnya patah arang menjadi seorang alim. Pengembaraan intelektual ke Yamamah dan Bashrah ia lakukan demi memeroleh ketinggian ilmu dari para ulama. Kegigihannya berbuah cemerlang, Abdurrahman menjadi ulama besar yang melahirkan karya-karya bermutu tinggi. Khalifah al-Manshur (khalifah kedua Bani Abbasiyah) sangat menaruh hormat padanya. Bahkan ia pernah meminta Sang Imam memegang jabatan Qadhi (hakim). Namun, ulama zuhud ini menolaknya.
Satu kisah menarik tentang Imam al-Auza’i adalah saat menyampaikan kritik kepada seorang penguasa bernama Abdullah bin Ali al-Abbasi saat tak ada satu pun orang yang berani. Saat menaklukkan Kota Damaskus, Abdullah melakukan pembantaian dan penjarahan besar-besaran. Siapa berani menentangnya akan tahu akibatnya: nyawa melayang!
Suatu hari di muka para pegawai pemerintahan ia berkata penuh kesombongan, “Adakah orang yang berani menentangku?”
“Tak ada, kecuali al-Auza’i,” jawab mereka.
Lantas dipanggillah al-Auza’i untuk menghadap. Sang Imam memenuhi. Ia datang dengan sepenuh kesadaran akan segala risiko yang mungkin terjadi. Di balik bajunya sudah ia sematkan kain kafan sebagai persiapan saat ia mati.
Suasana mencekam saat Sang Imam datang. Pedang-pedang terhunus siap melaksanakan perintah atasan.
“Apa pendapatmu tentang darah yang aku tumpahkan?” tanya Abdullah.
Penuh ketenangan, al-Auza’i menjawab dengan hadits Nabi, “Dari Ibnu Mas’ud, sungguh Rasulullah telah bersabda, ‘Tidaklah halal darah seorang Muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan aku adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab: seorang muhshan berzina,jiwa dibalas jiwa, dan orang murtad yang memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslim.'” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Marahlah si penguasa arogan. Keningnya bercucuran keringat. Tongkatnya digoreskan ke lantai. Suasana makin membuat degdegan. Orang-orang menyingkap pakaian agar terhindar dari percikan darah Sang Imam yang akan segera ditumpahkan.
Oh, ternyata apa yang terjadi? Belum waktunya, ajal al-Auza’i belum tiba. Abdullah bin Ali meluncurkan pernyataan kedua.
“Bagaimana pendapatmu tentang harta yang aku rampas?”
“Jika harta itu halal, kelak akan dihisab. Dan jika haram, balasannya adalah azab!” tegas al-Auza’i menjawab.
Semua orang tak menyangka. Tak terjadi peristiwa mengerikan yang mereka bayangkan sebelumnya. Abdullah bin Ali menyuruh sang Imam pergi. Sekantong uang ia berikan kepadanya. Tak menolak, al-Auza’i menerima pemberian itu tapi tak dibawanya pergi. Langsung saja ia mebagikannya kepada orang-orang, di depan mata si penguasa arogan. Setelah selesai, barulah ia meninggalkan tempat itu.
Sungguh, rupanya di dada Imam al-Auzai telah tertanam ayat Allah ta’ala berikut ini.
“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan ayat-ayat Allah, mereka takut kepadaNya, tapi tak takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (al-Ahzab: 39).
Juga sabda Baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam di bawah ini.
“Sebaik-baik jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (Hr. Ahmad dan Abu Dawud).
Pesan penting dari kisah ini adalah, bahwa ilmu al-Auza’i bukanlah materi ceramah, ilmu Sang Imam adalah pengamalan di kehidupan. Di hati ia tertanam, bukan hanya di memori pikiran. Dalam tindakan ditampilkan, bukan sakadar ucapan. Para da’i di zaman ini hendaknya mengambil teladan mulia al-Auza’i.
Pesan berikutnya adalah bahwa ajal memanglah benar kewenangan Allah subhanahu wa ta’ala. Ia tak berada di tangan manusia siapa pun juga, sekokoh apa pun posisi politisnya. Walau berani melakukan penentangan, Imam al-Auza’i rahimahullah tidak mati di tangan si penguasa kejam. Ia wafat di Beirut pada 157 H saat menjalankan tugas mulia menjaga daerah perbatasan (ribath). Warisan hartanya hanya sisa shadaqah sebesar enam dinar saja. Tapi warisan ilmu dan keteladanan darinya tak bisa ditukar dengan emas dan permata seberapa pun besarnya! [IB]