(Panjimas.com) – Mata pena lebih tajam dari mata pedang, begitu kata pepatah. Benar, jika sekali ayun sebilah pedang hanya dapat menikam satu, dua orang; torehan pena dapat menghunjam ke dada jutaan orang! Sepertinya pepatah ini selalu berlaku di sepanjang sejarah peradaban. Pun di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kala itu, di masa awal dakwah Islam di Madinah, seorang shahabat Muhajirin bernama Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu memberi bukti nyata. Ia salah satu peserta Baiat Aqabah pertama dan kedua yang seorang pujangga. Walau hidup di lingkungan masyarakat buta aksara, orang mengenalnya sebagai penyair ulung yang mahir meramu kata menjadi syair menggugah jiwa.
Entah apa muatan syair-syair Ibnu Rawahah waktu hidayah belum tiba. Pastinya, sejak Islam hidup di dada, ia produktif dengan karya-karya yang melukiskan keimanan kepada Allah dan RasulNya.
Mata pena lebih tajam dari mata pedang. Pena adalah simbol kata, sastra, dan literasi pada umumnya. Begitulah karya sastra Ibnu Rawahah. Sekali ia bacakan syairnya, seketika itu terhunjamlah pesan spiritual Islam ke lubuk-lubuk hati banyak orang yang mendengarkan. Bak pedang tajam diayun menyambar tubuh sasaran.
Ajaran Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam adalah kebenaran mutlak dari Allah subhanahu wata’ala, inilah pesan fundamental syair-syairnya. Allah subhanahu wata’ala pasti akan selalu menolong kaum Muslim dan memenangkan Islam, inilah juga pesan fundamental syair-syairnya. Pesan-pesan itu melesat ke segala arah lalu menghunjam ke lubuk hati banyak orang.
Berikut beberapa contoh syair Ibnu Rawahah radhiyallahu ‘anhu:
Wahai Putra Hasyim yang baik
Allah t’lah lebihkan dirimu dari s’luruh manusia
Berimu karunia yang tak diberikanNya kepada orang lain
Sungguh
Firasatku yakin ‘kan kebaikanmu
Satu firasat yang beda dengan cara pandang mereka padamu
Andai saja engkau tanya, dan
Minta tolong mereka ‘tuk pecahkan persoalan
Tidaklah mereka ‘kan jawab dan bela
Karna itulah
Allah kukuhkan kebaikan dan ajaran yang kaubawa
Seperti Dia t’lah tolong dan kukuhkan Musa
Dalam sebuah ekspedisi jihad, sebelum berangkat, dengan syairnya, Ibnu Rawahah menyuntikkan suplemen spiritual kepada pasukan.
Kepada Allah Maha Pengasih kumohon ampunan
Pukulan menakutkan mencerai-beraikan
Tusukan tombak di tanganku buat musuh
Limbung melayang
Tembuslah dada dan jantung hingga
Dikatakan: bila mereka melewati mayatku!
Saat pasukan Muslim kalang kabut melawan 200 ribu lebih pasukan Romawi, syair Ibnu Rawahah menjelma ribuan pedang yang mengayun memukul mundur lawan.
Kubersumpah wahai diri
Engkau harus turun ke medan laga
Oh, mengapa tampak kau menolak surga?
Wahai diri bila kau tak terbunuh mati di sini
Pun, engkau pasti juga ‘kan mati
Inilah sejak lama kaunanti
Kematian sejati
Tibalah waktu
Apa yang kauidamkan s’lama ini
Jejak kedua pemberani pasti kauikuti jika
Engkau dalam petunjukNya
Berdua mendahului syahid
Ja’far dan Zaid
Maju menyerbu pasukan Ruum
Bila bukan taqdir Allah hari ini saat ke surga
Ditebaslah musuh dengan pedangnya
Tewas sejumlah besar mereka
Tapi ada denting lonceng penanda pulang
Kepada Allah ta’ala, syahidlah mereka
Sungguh pelajaran berarti bagi kita kini. Pena, kata, sastra, adalah senjata ampuh milik siapa pun pemegangnya. Syair, puisi, cerpen, novel, dan karya sastra apa pun bentuknya, bisa lebih dahsyat dari rudal paling canggih di dunia! Sekarang pertanyaannya, apakah saat ini sastra islami sedang mendominasi karya sartra dunia? Apakah saat ini sastra islami sedang mendominasi dunia sastra Indonesia? Mari jujur kita menjawab, dan mari ikuti dengan langkah perubahan bila jawaban itu memilukan!
Wallahu a’lam. [IB]