(Panjimas.com) – Hidup adalah cobaan. Kesenangan dan kesedihan adalah cobaan. Datangnya musibah adalah cobaan. Soal keberhasilan melewatinya, kembali ke masing-masing orang yang menjalani.
Wanita dicipta dengan fitrah peka rasa. Umumnya, rasa sedihnya lebih mendalam ketimbang pria, ketika musibah menimpa. Salah satu kesedihan mendalam wanita shalihah adalah ketika suami meninggal dunia. Tak hanya wanita masa kini, di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun demikian adanya.
Dikisahkan bahwa Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, sepupu yang juga saudari ipar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam merasakan duka yang dalam ketika suaminya gugur di medan laga. Wanita Bani Asad ini bersuamikan Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu. Mereka menikah di masa permulaan dakwah Islam di Makkah. Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniai pasangan suami istri ini seorang putri.
Pada masa pascahijrah dan terjadi perang Uhud, Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu mendapat tugas sebagai pemegang bendera Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Hamnah tak tinggal di rumah, ia pun turut serta terjun ke medan jihad dan bertugas sebagai pelayan minuman dan pengobatan.
Pertempuran berlangsung sengit dan berakhir dengan kekalahan pasukan Muslim. Banyak shahabat gugur dan salah satunya Mus’ab bin ‘Umair. Tapi rupanya sang istri tak tahu akan hal ini. Baru setelah kembali ke Madinah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberitahu, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala untuk saudaramu, ‘Abdullah bin Jahsy!”
Abdullah bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu adalah saudara kandung Hamnah. Mendengar kabar duka ini, ia berusaha tegar. Ekspresi ketegaran tampak di wajahnya. Ia beristirja dan berdoa, “Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosa-dosanya.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melanjutkan sabdanya, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala untuk pamanmu, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib!”
Saudari Zainab radhiyallahu ‘anha ini merespon dengan ekspresi yang sama, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosa-dosanya.”
Lantas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda lagi, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi suamimu, Mush’ab bin ‘Umair!”
Mendengar nama yang satu ini, ekspresi ketegarannya sontak hilang. Hamnah memekik histeris. Menyaksikannya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bertindak menenangkan dan bertanya mengapa?
Wanita ini menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ingat akan putrinya yang kini menjadi yatim.”
Kisah singkat ini sepintas tampak sederhana. Tapi coba kita “kunyah” lebih lama. Akan terasalah pesan moralnya. Bahwa keutuhan sebuah keluarga sangatlah berarti. Kehadiran suami sebagai kepala rumah tangga sangat dinanti. Masa depan anak adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan, jangan sampai tak terpikirkan.
Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha sebenarnya rela suaminya meninggal dunia. Karena ia sadar bahwa itu sudah ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala. Bila ajal telah tiba, tak ada kekuatan yang sanggup mengundurkannya walau sedetik saja. Apalagi suaminya wafat secara mulia, saat berjihad membela agama. Tapi, satu hal besar tersadar oleh Hamnah. Amanah. Anak adalah amanah Allah subhanahu wa ta’ala yang harus dijaga sebaik-baiknya. Setelah suami tiada, sanggupkah dirinya merawat dan mendidik putri tercinta dengan baik? Inilah beban moral janda shalihah.
Bukan masalah keyakinan bahwa rezeki sudah diatur oleh Yang Kuasa. Wanita shalihah yakin tentangnya. Masalahnya adalah tanggung jawab. Bayi manusia lahir dalam keadaan fitrah, suci, cenderung pada kebaikan. Tapi ruang dan waktu selama perjalanan usia memberi pengaruh akan terjaga tidaknya fitrah itu.
Nah, di sini kita diingatkan. Keberadaan janda dan anak yatim sangat butuh kepedulian. Hendaknya, kepedulian terhadap mereka ditumbuhkembangkan di kalangan kita, kaum Muslim. Jangan sampai masalah pergaulan, pendidikan, dan perekonomian yang kurang baik menjadi celah datangnya setan yang akan menjerumuskan mereka pada kebinasaan. Kasihan.
Kita bersyukur dengan keberadaan lembaga-lembaga filantropi Islam yang memberi perhatian besar kepada nasib janda dan anak yatim. Juga bersyukur dengan menjamurnya pesantren-pesantren yatim dan dhuafa dengan layanan gratisnya. Dan tentu saja para aghniya Muslim yang begitu tulus mendonasikan sebagian harta mereka. Semoga budaya baik ini kian subur di seluruh penjuru dunia, aamiin. Wallahu a’lam. [IB]