(Panjimas.com) – Bila disebut istilah “pengusaha Muslim”, terbersitlah di benak kita sosok shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bernama Abdurrahman bin ‘Auf. Ya, Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu adalah tokoh wirausahawan paling terkenal di kalangan shahabat, setelah Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Satu hal yang penting kita sadari adalah, harta benda itu penting adanya dalam langkah memerjuangkan tegaknya kebenaran (baca: Islam). Apalagi sekarang, zaman Rasul yang jumlah manusianya belum semenggelembung kini saja, harta benda sudah berperan besar. Artinya, usaha menjadi kaya adalah amal mulia.
Saat ini banyak sekali Muslim kayaraya. Jadi pengusaha yang dimudahkan olehNya. Tapi sudahkah mereka seperti Ibnu ‘Auf punya jiwa? Bila belum, semoga semangat mengarah ke sana sudah ada. Untuk mendukungnya, rasanya menengok kembali sosoknya sembari merenungi adalah perlu. Di sini kita akan coba melakukannya.
Saat itu Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam menerima perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk berhijrah ke Yatsrib (kemudian bernama Madinah). Mendapat kabar itu, Abdurrahman bin ‘Auf yang sebelumnya pernah berhijrah ke Habasyah, melopori para shahabat melaksanakan perintah tersebut.
Di Makkah waktu itu, Ibnu ‘Auf sedang dalam situasi banjir harta. Ia menjadi saudagar yang Allah ta’ala mudahkan rezekinya. Usaha dagangnya bertumbuh kembang begitu menggembirakan. Hanya saja, sebagai Mukmin, kehidupannya di Makkah kala itu selalu mendapat gangguan. Kaum musyrik Quraisy senantiasa melakukan intimidasi kepada para pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.
Demi menyelamatkan iman, demi membangun peradaban Islam, demi menggapai kehidupan yang sakinah, Abdurrahman bin ‘Auf menempuh perjalanan tanpa membawa harta kekayaan. Ia pergi ke Yatsrib dengan tangan hampa, bekalnya hanya iman di dada.
Ibarat pohon, iman yang dipelihara baik akan berbuah manis bernama rasa optimis. Pohon iman Ibnu ‘Auf sudah berbuah, yakin kekayaan Allah ta’ala melimpah ruah. Tak hanya di Makkah, kekayaan juga bisa diperoleh di Madinah.
Sesampainya Muhajirin (Muslim Makkah yang berhijrah) di tanah Yatsrib, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melakukan tindakan cerdas, memersaudarakan mereka dengan Anshar (penduduk asli Yatsrib yang sudah Muslim). Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mendapat saudara bernama Sa’ad bin Rabi al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Ternyata mereka sama, sama-sama saudagar kaya. Tapi beda, harta Ibnu Rabi masih di tangan, harta Ibnu ‘Auf sudah dilepaskan.
Ta’aruf: berkenalan, itulah pekerjaan pertama yang para shahabat lakukan. Ibnu ‘Auf berta’aruf dengan Ibnu Rabi. Mereka saling mengungkap perihal diri dan pengalaman hidup masing-masing. Tahu kisah Si Muhajir, Si Anshar tergerak melakukan apa yang semestinya dilakukan: membantu permodalan.
Sayang sekali. Sayang sekali niat baik itu tak berbalas seperti diinginkan. Abdurrahman bin ‘Auf itu aneh. Aneh sekali. Rupa-rupanya ia lupa siapa dirinya kini. Ia hamba yang tak punya apa-apa lagi. Eh, diberi bantuan materi tak mau menerima, mengapa?
Begitulah, jalan pikiran Ibnu ‘Auf tak seperti kebanyakan orang sekarang. Orang sekarang begitu sukanya menggunakan jurus aji mumpung. Mendengar akan mendapat bantuan langsung tunai, jadi lupa tugasnya belum tunai. Mendengar kabar ada lembaga akan mengucurkan dana, bercepat-cepat bikin proposal abal-abal. Bukan begitu cara berfikir seorang Abdurrahman bin ‘Auf. Bukan begitu pribadi yang sudah di-ta’dib oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dengan naluri wirausahanya yang berjiwa Rabbani, optimis akan dipenuhi rezekinya oleh Allah ta’ala dengan jalan iffah (menghindari tangan menengadah). Ia hanya minta Ibnu Rabi menunjukkan jalan menuju pasar. Itu saja.
Lalu sejarah pun mencatat dengan tinta abadi bahwa di Madinah, Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu menjadi saudagar kayaraya yang berkontribusi besar dalam membiayai perjuangan Islam. Ia pun menjadi pribadi yang sehat wal afiat, jauh dari penyakit terburuk umat Islam yakni wahn: cinta dunia dan takut kematian.
Gaya hidupnya biasa saja. Ibnu ‘Auf tak seperti raja yang tinggal di istana. Ia serupa rakyat jelata. Bahkan, si kaya rela menceburkan diri ke medan laga, bertaruh nyawa. Bukan saja harta, rupanya nyawa pun akan ia serahkan demi kejayaan Islam. Bayangan perpisahan dengan harta tak menjadi hantu yang menakutinya, karena ia amat cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala!
Bagaimana dengan kita?
Wallahu a’lam. [IB]