(Panjimas.com) – “Gayane thok (gayanya doang)!” Ujar seorang dosen yang juga direktur sebuah lembaga non pemerintah. Rupanya ia kecewa dengan anak muda yang diamahi jabatan sebagai kepala SMK yang bernaung di bawah yayasannya. Di matanya, anak muda itu hanya keren di penampilan dan gelar, tapi bopeng dalam kinerja.
Jalan pikiran yang datar, niat suatu tindakan yang bukan karena ketulusan tapi demi menggugurkan kewajiban atas tugas yang diberikan, serta demi memeroleh capaian pribadi yang diinginkan, adalah tanda kurang berkualitas seseorang. Bila orang yang sisi dalamnya seperti itu sementara sisi luarnya tampak keren, sok gaul dan intelek, ia layak disebut “gayane thok”.
Dalam era teknologi yang serba canggih saat ini, banyak anak muda yang menjadi korban fasilitas. Mereka tidak menggunakannya untuk melejitkan potensi dan menyumbangkan peran bagi pemajuan peradaban, tetapi malah termanjakan dan bangga dengan pemanpilan luar yang sok modern. Ini musibah peradaban yang tak boleh dibiarkan.
Sebagai suplemen tambahan dalam langkah penyadaran umat agar tidak menjadi pribadi yang lebih mengutamakan penampilan luar dan berorientasi pada tujuan-tujuan pragmatis, kiranya membaca kisah shalaful ummah perlu dilakukan. Agar tidak terjebak oleh ranjau “gayane thok”, kiranya shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang satu ini perlu kita “ziarahi”. Ia seorang pemuda yang penampilanya sangat bersahaja, namun ketangguhan jiwa, keberanian, kecerdikan, dan kinerjanya, tak bisa diremehkan. Jasanya begitu besar dalam perjuangan membangun peradaban Islam. Dialah al-Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Al-Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu adalah shahabat Nabi shalallahu ‘aalaihi wassalam dari kalangan Anshar. Penampilannya sangat bersahaja, badannya kurus dan rambutnya kusut. Tulang-tulangnya menonjol membentuk relief rangka tubuh di kulitnya.
Kendati demikian postur tubuhnya, tapi mentalnya benar-benar baja. Ia pemberani luar biasa. Keterampilan bergulatnya juga ampuh. Pengalaman heroiknya adalah membunuh seratus orang dalam pertarungan satu lawan satu.
Pascawafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dihadapkan pada fitnah yang besar. Ia harus melakukan tindakan militer demi mengembalikan para murtadin ke jalan tauhid. Kelompok murtadin yang paling besar kekuatan dan jumlahnya adalah Bani Hanifah, pengikut nabi palsu Musailamah al-Kazzab.
Pertempuran melawan kubu Musailamah digelar. Kali pertama, pasukan Muslim dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal radhiyallahu ‘anhu. Dalam pertempuran itu Allah ta’ala belum mengaruniakan kemenangan. Kaum Mukmin harus menguatkan kesabaran. Sang Khalifah pun lantas mengirim pasukan kedua dengan Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu sebagai panglima. Dalam pasukan itu, al-Barra’ berperan di posisi garis depan. Pertempuran Yamamah yang berlangsung di Nejed ini sempat membuat pasukan Muslim dicabik-cabik musuh, kekalahan sepertinya akan terulang.
Dalam kegentingan yang mendebarkan, Panglima Khalid memutar akal sembari khusyuk berdoa kepada Allah ta’ala. Terilham padanya gagasan menata ulang formasi pasukan. Seluruh pasukannya diatur sedemikian rupa, dikelompokkan per kabilah.
Sang panglima menyeru al-Barra’, “Majulah wahai Pemuda Anshar!” Si Kurus pun menyahut dengan seruan berapi-api, “Wahai kaum Anshar, jangan ada seorang pun dari kalian yang berpikir untuk pulang. Tiada lagi Kota Madinah bagi kita setelah hari ini. Yang ada hanya Allah dan syahid di jalanNya!”
Tak hanya suara lantang yang ia punya, al-Barra’ melanjutinya dengan langkah maju, menyerang dan menyerang; pasukan Anshar mengikuti di belakang. Diterjangnya barisan lawan, pedang mengayun menebas leher-leher musuh yang menghadang. Bumi seakan goncang, pasukan Musailamah mundur mencari perlindungan.
Di balik benteng pasukan Nabi Palsu bertahan. Dikuncilah pintu gerbang. Anak panah meluncur-luncur bak hujan. Dari dalam mereka menyerang. Melihat serbuan anak panah mengancam pasukan Muslim, al-Barra’ ambil tindakan. “Wahai kaum Muslim, letakkan aku di tameng, angkat dengan ujung tombak-tombak kalian, lalu lemparkan ke dalam. Kalau tidak mati duluan, akan kubuka pintu gerbang!”
Allahuakbar! Pintu gerbang berhasil dibuka. Untuk pekerjaan besar ini, al-Barra’ harus membayar dengan lebih dari delapan puluh luka. Pasukan Muslim merangsek masuk dan berhasil membunuh dua puluh ribuan pasukan. Allahuakbar! Kali ini pasukan Muslim berhasil memenangkan pertempuran.
Tapi bagaimana dengan al-Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu, apakah ruhnya sudah melangit seperti ia tekadkan dalam seruan yang lantang? Ternyata tidak. Belum waktunya ia bersemayam di tembolok burung hijau di bawah Arsy. Allah ta’ala masih memberinya kesempatan berkontribusi lebih banyak lagi bagi perjuangan Islam. Luka-lukanya berhasil disembuhkan walau memakan waktu yang panjang. Selanjutnya, ia masih masih sempat mengikuti beberapa pertempuran hingga akhirnya syahid di medan Tustar.
Ingat, al-Barra’ bukan seorang lelaki bertubuh besar kekar; ia kurus sampai tulang-tulangnya “kelihatan”. Tapi bagaimana dengan reputasinya dalam bidang yang ia geluti: dunia kemiliteran? Sungguh luar biasa! Kenyataan seperti ini tak mungkin bisa terwujud tanpa dorongan hati yang berlandaskan iman, yang terekspresi dalam tindakan matang penuh ketulusan. Sudah saatnya kaum Muslim tidak lagi terkecoh penampilan luar, tidak terbuai gaya trendi yang sejatinya hanya menjanjikan bualan. Wallahu a’lam. [IB]