(Panjimas.com) – Dua pelajaran amat berharga hendaknya kita petik dari tokoh salaf ini. Ia hidup di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Membaca kisahnya, kita akan terharu sekaligus tertampar. Di zaman teknologi informasi yang super canggih saat ini, banyak kaum Muslim dari kelas “penjajagan” sampai kelas ustadz, gemar memajang foto diri di media sosial dan bangga bila masuk media massa. Mereka ingin dikenal, ingin terkenal. Dalihnya, agar punya jalan menebar pesan kebajikan, agar umat meneladaninya.
Kita tak bisa menyalahkan mereka bila ingin menyalahkan, salahkan diri sendiri saja karena kita pun sama. Yang seyogianya kita lakukan adalah saling mengingatkan untuk ingat dan waspada.
Mencari popularitas sebagai jalan boleh saja, tapi kewaspadaan harus selalu siaga. Sangat mungkin “jalan” itu lambat laun menjadi “tujuan”. Bila begitu, artinya kita telah tergelincir masuk comberan. Setiap Muslim punya tugas menjadi da’i (pendakwah). Dan sehebat-hebatnya da’i adalah yang tidak dikenal namun berkontribusi besar. Dengan bahasa lain, sosoknya tidak dikenal namun karyanya menyebar luas menginspirasi “sejuta umat”.
Kiranya kita perlu berguru kepada Uwais al-Qarni radhiyallahu ‘anhu. Dua keteladanan berharga darinya: bakti kepada orang tua dan kekebalannya terhadap predikat dunia, sangat memadai untuk dijadikan cerminan dan renungan.
Uwais al-Qarni radhiyallahu ‘anhu adalah seorang lelaki Yaman. Ia masuk Islam tak lama setelah Dinul Haq didakwahkan di negeri itu. Ia orang tak berharta, rakyat jelata yang dipandang sebelah mata. Bahkan orang-orang cenderung menyematkan predikat negatif kepadanya. Ia biasa ditimpa tuduhan keji membujuk dan mencuri.
Gaya hidup Uwais al-Qarni sangat bersahaja. Pekerjaannya menggembala domba dan unta, dan penghasilannya hanya bisa menopang kebutuhan hidup dirinya dan ibunya. Sebagai gambaran kesahajaannya, pakaian yang ia punya hanyalah yang dikenakannya. Ia juga punya masalah kesehatan, tubuhnya terjangkit penyakit kusta.
Ibunda Uwais lebih memrihatinkan keadaannya. Di usia yang sudah senja, badannya lumpuh dan matanya buta. Ia tak bisa hidup sendiri dan memenuhi keperluannya sehari-hari. Alhamdulillah, Uwais sangat berbakti kepadanya. Setiap hari ia merawat dan melayani keperluan wanita yang telah melahirkannya.
Satu keinginan besar ibunda Uwais adalah berhaji. Dalam realitas hidup penuh keterbatasan kondisi kesehatan dan ekonomi, ia ingin sekali beribadah di depan Ka’bah. Uwais sadar tak punya hewan tunggangan dan tak punya harta untuk bekal perjalanan. Namun baktinya kepada ibunda tercinta membuatnya tak merasa menghadapi halangan, hambatan, dan rintangan. Ia akan mengantar ibunya ke Makkah dengan caranya sendiri, cara yang tak terbersit di benak orang kebanyakan.
Uang yang susah payah Uwais dapatkan dan kumpulkan, dibelikannya anak sapi. Tindakan tak lazim ia lakukan terhadapnya. Di puncak bukit ia membuat kandang, dan setiap hari ia gendong hewan itu naik turun bukit antara kandang dan padang gembala. Hari demi hari rutinitas janggal itu ia lakukan. Orang-orang yang sedianya sudah tak bersimpati padanya semakin merasa punya alasan merendahkan martabatnya. “Uwais gila… Uwais gila…” Begitu orang-orang berujar kala melihat si pemuda menggendong anak sapinya. Selanjutnya akan diapakan anak sapi itu, apakah akan dijadikan tunggangan untuk mengantar ibundanya menuju Makkah? Insya Allah jawaban dan kelanjutan kisahnya disajikan di edisi mendatang. Wallahu a’lam. [IB]