(Panjimas.com) – Dalam sejarah Peradaban Islam, tercatat nama seorang tabi’in yang sangat zuhud dan wara’, padahal dulunya adalah perampok yang ditakuti khalayak. Orang ini hidup di zaman Kekhalifahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa Harun ar-Rasyid rahimahullah.
Adalah Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Basyar at-Tamimi. Ia dilahirkan di Samarqand pada 726 M dan dibesarkan di Abi Warda, Khurasan. Tak diketahui secara detail perjalanan hidupnya dari balita hingga masa muda. Yang jelas, riwayat yang ada mengatakan bahwa Fudhail pernah terkenal sebagai perampok yang biasa menghadang kafilah di jalur Abu Warda-Sirjis.
Kematangan mental dan fisik Fudhail tak diragukan orang. Tanpa kawan, sendirian, ia berani melakukan aksi perampokan. Sampai pada saat Allah ta’ala menurunkan hidayahNya. Perampok menakutkan ini bertaubat dan amalannya berbalik seratus delapan puluh derajat, menjadi seorang ahli ibadah yang sangat sadar bahwa gemerlap dunia itu rendah.
Pertaubatan itu bermula pada suatu ketika di mana ia tergoda oleh kecantikan seorang wanita. Gejolak syahwatnya tak tertahan hingga mengajak dirinya memanjat dinding menuju si wanita berada. Ia akan memuaskan syahwatnya! Namun saat sedang memanjat, tiba saja terdengar sebuah suara. Suara mengandung makna yang menarik perhatiannya dan memecah konsentrasinya. Adalah lantunan bacaan al-Qur’an surat al-Hadid ayat 16 yang mulia.
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka)? Dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (al-Hadiid: 16).
Bila Allah ta’ala sudah berkehendak memberi petunjuk kepada seorang hamba, tak ada satu pun makhluk sanggup menghalagiNya. Mendengar bacaan itu, terucaplah di bibir Fudhail kata hatinya yang paling dalam.
“Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (bertaubat).”
Kembalilah ia, kemaksiatan urung dilakukannya. Entah apa sebabnya, ia berlindung di balik reruntuhan bangunan. Rupanya ada rombongan kafilah melintas tak jauh darinya.
“Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini.”
Kafilah memilih terus berjalan, tidak rehat dulu di jalur itu.
Suara itu mengusik hati Fudhail. Ia bergumam, “Aku biasa melakukan kejahatan di malam hari dan itu membuat orang-orang ketakutan. Dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka (rombongan) ini melainkan agar aku berhenti (dari kejahatan). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepadaMu, dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram.”
Tak hanya ucap. Pun tak cuma luapan perasaan sekejap. Fudhil bin Iyadh benar-benar telah bertaubat, taubat nasuha. Setelah itu ia menghabiskan satu masa di Kufah dan berguru kepada sejumlah ulama negeri tersebut. Manshur, al-A’masy, ‘Atha’ bin as-Saaib, Shafwan bin Salim, dan beberapa ulama lainnya.
Selanjutnya Fudhail menetap di Makkah bersama keluarganya dan mencari penghidupan dengan menjadi pengurus air. Kehati-hatiannya dalam memeroleh harta sangatlah dijaga. Pemberian dan hadiah dari pejabat ditolaknya mentah-mentah karena ragu akan kehalalannya. Ia menetap di Makkah sampai wafatnya pada bulan Muharram 187 H atau 803 M.
Itulah Fudhail bin Iyadh rahimahullah. Kiranya di samping menggali nasihat dari kisah taubatnya, kita juga perlu menerima nasihat lisan dari manusia pilihan itu. Inilah nasihatnya untuk kita:
“Kamu berhias untuk manusia, berdandan untuk mereka, dan kamu terus berbuat riya’, sehingga mereka mengenalmu sebagai seorang yang shalih. Mereka menunaikan kebutuhanmu, melapangkan tempat dudukmu (menghormatimu), dan bermuamalah denganmu dengan dasar salah duga. Keadaanmu benar-benar buruk jika demikian adanya… Jika kamu mungkin untuk tidak dikenal, maka lakukanlah! Kamu tidak rugi karena tak dikenal, dan kamu tidak rugi meski tak dipuji. Kamu tidak rugi walau dirimu tercela di mata manusia, asalkan di mata Allah ta’ala selalu terpuji!”
Wallahu a’lam. [IB]