(Panjimas.com) – Kesehatan fisik tubuh sangat dipengaruhi oleh situasi mental si bersangkutan. Kebencian, dendam, dan kemarahan yang tak terkendali misalnya, dapat memicu naiknya tekanan darah. Ia juga menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh. Sebaliknya, sikap memaafkan terbukti secara ilmiah dan empirik menjadikan kualitas kesehatan mental maupun fisik meningkat.
Pantaslah bila Allah subhanahu wa ta’ala mengutamakan memaafkan suatu kezaliman daripada melakukan pembalasan. Dan bilapun membalas, maka itu bukanlah sebagai ekspresi balas dendam, namun pelaksanaan hukum yang dilakukan secara proporsional sesuai tata aturan, sebagai wujud maqasid asysyari’ah.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (terhadap orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sungguh, dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (asy-Syura: 40),
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (an-Nahl: 126).
Penelitian perihal sikap memaafkan dalam bidang psikologi dan kesehatan telah banyak dilakukan. Sebuah jurnal ilmiah pada 2008 memaparkan bahwa sikap memaafkan berdampak positif bagi kesehatan orang yang memaafkan. Penelitian setelahnya menunjukkan bahwa memaafkan juga berpengaruh positif bagi kehidupan orang yang dimaafkan.
Sebuah sumber melaporkan bahwa penelitian dengan teknologi pencitraan otak, seperti, tomografi emisi positron dan pencitraan resonansi magnetik fungsional, berhasil mengungkap perbedaan pola gambar otak orang yang memaafkan dan yang tidak memaafkan. Orang yang tidak memaafkan memiliki aktivitas otak yang sama dengan otak orang yang sedang stres, marah, dan melakukan penyerangan. Perbedaan aktivitas hormon dan kondisi darah antara pemaaf dengan pendendam atau pemarah tampak nyata. Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan kondisi stres. Sikap tidak memaafkan cenderung mengarah pada tingkat kekentalan darah yang lebih tinggi. Dan itu berarti buruknya kondisi kesehatan tubuh.
Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah. Ia juga berperan sebagai penyangga yang dapat menekan reaksi jantung dan pembuluh darah sekaligus memicu munculnya tanggapan emosi positif yang menggantikan emosi negatif.
Terhadap kesehatan jiwa, sikap memaafkan mencegah depresi dan terkait erat dengan kemampuan mengendalikan diri. Sikap memaafkan menghentikan dorongan korban kezaliman dari melakukan tindakan balas dendam.
Dari bukti-bukti ilmiah di atas, menurut sebuah sumber, sikap memaafkan lantas diujicobakan di dunia kedokteran dalam menangani penderita sejumlah penyakit berbahaya, seperti, jantung koroner, sakit kronis pada punggung bagian bawah, dll.
Nah, inilah bukti bahwa akhlaq Islam, khususnya sikap memaafkan, tak hanya berperan dalam membangun hubungan sosial yang baik, namun juga membangun kesehatan mental dan fisik umat. Maka artinya, memaafkan adalah pilihan cerdas, solutif, dan konstruktif. Sedang tindakan balas dendam hanyalah semata ekspresi kebodohan.
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang berbuat yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (al-A’raf: 199).
Wallahu a’lam. [IB]