(Panjimas.com) – Salah seorang perawi hadits yang terkenal sampai kini adalah Imam an-Nasa’i rahimahullah. Sebenarnya nama yang masyhur itu hanyalah penisbatan atas sebuah kota di Khurasan, Kota Nasa’i. Nama asli ahli hadits kelahiran 215 H ini adalah Ahmad bin Syu’aib al-Khurasani rahimahullah.
Seperti halnya para ahli hadits lain, an-Nasa’i juga tak mencukupkan diri mencari hadits di satu negeri. Ia harus melanglang buana ke sejumlah negeri guna mendapatkan hadits-hadits yang akan mengisi kitab karyanya. Selain di Khurasan, tempat kelahirannya, ia memburu hadits sekaligus berguru kepada para ulama sampai ke Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab.
Imam an-Nasa’i rahimahullah menerima hadits di antaranya dari Qutaibah bin Sa’id dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah. Kelebihan muhadits asal Khurasan ini adalah kekuatan daya ingatnya. Demikian kata para ulama.
Sepanjang perjalanan intelektualnya, an-Nasa’i tercatat telah berguru antara lain kepada Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Abu Dawud, dan Abu Isa at-Tirmidzi rahimahumullah.
Sebagaimana para ulama lain pula, Imam an-Nasa’i rahimahullah pun memiliki murid dan berhasil mendidik mereka hingga kemudian tumbuh menjadi ulama-ulama besar. Di antara ulama yang merupakan murid an-Nasa’i adalah Abu al-Qasim at-Thabrani, Abu Ja’far ath-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr ad-Dalabi, dan Abu Bakr bin Ahmad as-Sunni rahimahumullah.
Imam an-Nasa’i rahimahullah sampai saat ini terkenal dengan kitab masterpiecenya, Sunan an-Nasa’i. Kitab tersebut juga masyhur dengan nama al-Mujtaba. Kelahiran kitab satu ini menyimpan cerita tersendiri.
Awalnya, Imam an-Nasa’i rahimahullah menyusun kitab himpunan hadits yang kemudian dikenal dengan nama as-Sunan al-Kubra. Setelah merampungkan penyusunannya, ia menghadiahkan kitab tersebut kepada Amir Ramlah (Pemimpin Kota Ramlah). Amir pun bertanya apakah semua hadits di dalamnya shahih? Dengan jujur Sang Imam menjawab, “Ada yang shahih, hasan, dan ada juga yang hampir serupa dengannya.”
Mendengar jawaban tersebut, Amir Ramlah meminta Imam an-Nasa’i menyaringnya, memisahkan antara yang shahih dengan yang tidak. Sang Imam memenuhi permintaan itu dan lahirlah kitab baru bernama as-Sunan as-Sughra. Oleh karena berisi hadits-hadits terseleksi, kitab ini juga dikenal dengan al-Mujtaba. Kata al-mujtaba semakna dengan al-maukhtar, yakni “yang terpilih”. Ia juga punya nama lain lagi yakni al-Mujtana. Tapi nama al-Mujtaba-lah yang pada masa itu paling masyhur.
Selain kitab himpunan hadits tersebut, karya-karya Imam an-Nasa’i lainnya adalah al-Khashais, Fadhail ash-Shahabah, dan al-Manasik.
Kitab al-Mujtaba pada kelanjutannya menuai tanggapan dari para ulama. Kitab yang menurut penyusunnya hanya memuat hadits shahih ini, dinilai oleh ulama lain sebagai tak semuanya shahih. Ibnu al-Jauzi rahimahullah mengatakan bahwa hadits-hadits dalam al-Mujtaba tak semuanya berderajad shahih, bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Dalam penelitiannya, penulis Kitab al-Maudhuat (Hadits-Hadits Palsu) ini menemukan sepuluh hadits maudhu’ dalam al-Mujtaba.
Ulama lain memiliki pandangan berbeda. Salah satu pakar hadits abad ke-9, Imam Jalaludin as-Suyuti rahimahullah, menemukan bahwa al-Mujtaba memang tidak hanya memuat hadits shahih saja, di dalamnya juga terdapat hadits hasan dan dhaif, namun ia tak menemukan hadits maudhu’ di sana.
Senada dengan kedua ulama di atas. Muhammad Abu Syahbah rahimahullah menilai bahwa tak semua hadits dalam al-Mujtaba berderajad shahih. Ia berpendapat, bila dikatakan semua hadits dalam kitab karya Imam an-Nasa’i itu shahih, menurutnya hal itu tidak didukung dengan penelitian yang jeli dan mendalam, kecuali bila maksud pernyataan itu adalah sebagian besarnya yang shahih.
Silang pendapat antar ulama bukanlah sebuah bencana intelektual. Hal tersebut adalah kewajaran ilmiah. Masing-masing ulama memang memiliki kaidah, kriteria, dan idealisme tersendiri dalam mengkualifikasi hadits. Dan tampaknya kriteria Imam an-Nasa’i berbeda dengan Ibnu al-Jauzi. Demikian pula dengan as-Suyuti serta ulama-ulama lainnya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Dan sekali lagi ini bukan bencana, ini adalah bukti hidupnya khasanah intelektual Islam!
Imam an-Nasa’i rahimahullah tak menetap di satu tempat di sepanjang hidupnya. Setelah sekian waktu tinggal di Mesir, setahun menjelang wafatnya, ia pindah ke Damsyik. Tapi sejarah mencatat ia wafat di Ramlah, Palestina, pada 303 H/915 M, dan dimakamkan di kawasan Baitul Maqdis. Itu menurut Imam al-Dzahabi rahimahullah yang diamini oleh Ibnu Yunus, Abu Ja’far ath-Thahawi (murid an-Nasa’i), dan Abu Bakar an-Naqatah rahimahumullah.
Pendapat lain dikemukakan ad-Daruqutni rahimahullah yang mengatakan bahwa Imam an-Nasa’i rahimahullah wafat di Makkah dan dimakamkan di kawasan antara bukit Shafa dan Marwa. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abdullah bin Mandah dan Hamzah al-‘Uqbi al-Mishri rahimahumullah. Wallahu a’lam. [IB]