(Panjimas.com) – Adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan setia Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ia seorang wanita Anshar yang masuk Islam dalam urutan awal. Saat menyatakan diri masuk Islam, ia sudah memiliki suami dan anak. Suaminya bernama Malik bin Nadhar dan putranya bermana Anas bin Malik.
Wanita itu bernama Ghumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Naja al-Anshaiyah al-Khazrajiyah radhiyallahu ‘anha. Saat muda, ia menjadi gadis idaman para pemuda. Pribadinya yang anggun, cantik, cerdas, sopan, dan keibuan, memancarkan pesona alami yang tak bisa ditutupi. Pemuda-pemuda Yatsrib mengincarnya, namun kemudian anak pamannya yang bernama Malik bin Nadhar-lah yang ditaqdirkan berhasil mendapatkannya.
Kala dakwah Islam meluas dan menyentuh penduduk Yatsrib, Ghumaisha’ yang lebih dikenal dengan Ummu Sulaim, mendapatkan hidayah untuk meninggalkan paganisme dan melakukan konnversi agama, masuk Islam. Sementara itu suaminya masih tetap pada agama nenek moyang. Iman yang sudah menghunjam di lubuk hati membuatnya tak peduli dengan kemungkinan pahit yang akan terjadi.
Suatu ketika, sekembalinya dari bepergian, Malik bin Nadhar tahu kalau istrinya telah masuk Islam. Marah besarlah ia.
“Apakah engkau murtad dari agamamu?!” tanya Malik geram.
“Tidak, bahkan aku telah beriman,” jawab Ummu Sulaim retoris berhikmah.
Singkat kisah, keduanya tak bisa lagi satu hati. Mereka berpisah.
Janda Malik bin Nadhar, sosok memikat hati itu kini didekati seorang pria bernama Abu Thalhah. Harta benda dan kedudukan yang terpandang menjadi senjata ampuhnya untuk meluluhkan hati wanita Mukminah ini. Namun sungguh agung pribadi ibunda Anas bin Malik. Pundi-pundi profanistis tak mampu menaklukkan hatinya sama sekali. Ia bisa saja menerima Abu Thalhah sebagai suami, tapi tentu ada syaratnya. Ia katakan kepada pria itu bahwa dirinya adalah seorang muslimah, dan seorang muslimah tak selayaknya bersuamikan seorang musyrik. Kemungkinan Abu Thalhah bisa memeristri dirinya hanya ada ketika lelaki itu bersedia beralih agama.
Mendengar penjelasan Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, terjadilah pergolakan batin pada diri Abu Thalhah. Entah bagaimana gambaran yang terjadi di hatinya, tiba saja pria itu bersuara, “Aku berada di atas apa yang kamu yakini. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Diucapkannya kalimat itu berulang kali.
Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhu merasa bersyukur. Ia tatap wajah putranya dan memintanya agar menikahkan dirinya dengan Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu.
“Wahai Anas, nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”
Mereka pun menikah. Mahar untuk wanita shalihah bernama Ummu Sulaim ini sangatlah besar hingga tak dapat dicatat dengan angka. Ia bukan materi yang bersifat profanistis, ia sesuatu yang tak kasat mata dan sangat sakral. Adalah keislaman mempelai pria, iman yang ada di jiwa Abu Thalhah yang hadir baru saja.
Ummu Sulaim dan Abu Thahah, bersama Anas bin Malik, hidup rukun bahagia. Keluarganya dibina dengan nilai-nilai Islam sehingga terciptalah harmoni rumah tangga yang indah. Ummu Sulaim yang lebih dulu mengerti ilmu keislaman tak segan menularkan kefahamannya kepada suami tercinta. Demikian pun Abu Thalhah, ia menyambutnya dengan tekun mendalami Islam, tanpa rasa segan dan sungkan.
Kekuatan ruhiyah Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu kian hari kian mantab. Hingga terbuktilah pada suatu hari dengan sebuah tindakan besarnya.
“Sesungguhnya Allah telah berfiman di dalam kitabnya, ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.’ Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku. Untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu wahai Rasulullah,” ucap Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
“Bagus… bagus… itulah harta yang menguntungkan, itulah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau menyedekahkannya kepada kerabat-kerabatmu,” respon beliau. Dan benar, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menunaikannya. Dibagikannya kebun itu kepada kerabatnya.
Dari pernikahan Abu Thalhah dengan Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma, Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniai seorang putra yang diberi mana Abu Umair. Bayi ini tumbuh menjadi anak yang lucu dan cerdas, menyenangkan kedua orang tuanya. Tapi suatu ketika ia sakit. Karena sangat sayangnya, setiap pulang dari pasar, hal yang pertama kali Abu Thalhah tanyakan ke istrinya adalah keadaan si mungil Abu Umair.
Ternyata sakit Abu Umair tak berlanjut pada kesembuhan, anak manis itu meninggal dunia. Saat itu Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu sedang tidak di rumah. Ummu Sulaim berusaha keras menenangkan hatinya dan mengurus sendiri jenazah putranya tanpa sang suami di sisinya. Ia berpesan kepada orang-orang agar tidak mengabarkan berita duka ini kepadanya. Yang ada di fikiran wanita ini adalah bagaimana agar ketika tiba di rumah dalam keadaan letih, suaminya tidak langsung terpukul dengan kesedihan yang dalam oleh kematian anak yang sangat disayanginya. Ia berfikir keras bagaimana menyampaikan peristiwa menyedihkan ini kepada suaminya dengan secerdas dan bijaksana mungkin.
Malam itu, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berusaha sekuat tenaga untuk membuat suaminya bahagia. Ia siapkan masakan istimewa untuknya.
Abu Thalhah tiba. Seperti biasa ia bertanya, “Bagaimana keadaan anakku?” Sang istri menjawab, “Ia tenang sekali…”
Abu Thalhah lega, terfikir olehnya bahwa Abu Umair sudah lebih baik keadaannya. Ia tak ingin mengganggu anak kecil yang dikiranya sedang tidur pulas itu. Ummu Sulim melayani keperluan suaminya dengan penuh kehangatan. Disajikannya menu makan malam yang sudah ia siapkan.
Sementara Abu Thalhah menikmati hidangan istrinya, Ummu Sulaim berdandan lebih cantik dari biasanya. Dikenakannya pakaian terindah yang ia miliki. Terjadilah di malam itu hubungan suami-istri yang hangat sekali.
Usai bercinta dan dilihatnya Abu Thalhah dalam kondisi sangat rileks, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mulai bicara dengan retorika yang sangat anggun penuh hikmah.
“Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum menitipkan barangnya kepada sebuah keluarga, dan suatu ketika mereka mengambil kembali barang itu. Bolehkah keluarga tersebut menahannya?”
Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak.”
Ummu Sulaim bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga itu keberatan dengan diambilnya barang titipan itu setelah mereka sudah bisa memanfaatkannya?”
Abu Thalhah berpendapat, “Berarti keluarga itu tidak adil.”
“Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari Allah, dan Dia telah mengambilnya kembali. Maka tabahkanlah hatimu…” pungkas Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha dengan perasaan yang sulit dilukiskan.
Blaarrr!!! Seketika ekspresi Abu Thalhah berubah. Ia sangat sedih dan berat rasanya menahan amarah.
“Kamu biarkan aku dalam keadaan seperti ini dulu baru kamu katakan keadaan anakku yang sebenarnya?!”
Diulang-ulangnya pertanyaan itu sampai akhirnya keluar ucapan istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) yang dilanjutkannya dengan memuji Allah subhanahu wa ta’ala. Perlahan menjadi tenanglah hatinya.
Esok harinya Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu pergi menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan mengadukan kejadian semalam. Beliau pun menanggapinya dengan tenang dan menenangkan.
“Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua.”
Allah ta’ala mengijabah doa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dari hubungan di malam itu, Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengandung seorang anak lelaki. Tak lama setelah si jabang bayi dilahirkan, wanita tegar ini mengutus putra pertamanya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, membawa adiknya menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah melahirkan tadi malam,” kata Anas.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam lantas mengunyah kurma dan mentahnik (mengoleskan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut) bayi itu. Lalu Anas meminta beliau memberinya nama. Dan beliau menamainya Abdullah.
Abdullah tumbuh hingga dewasa dan memiliki tujuh anak shalih (ada yang mengatakan sepuluh) yang semuanya hafal al-Qur’an. Sungguh, sebuah keberkahan dari sikap sabar atas ujian musibah yang Allah subhanahu wa ta’ala hadapkan. Wallahu a’lam. [IB]