(PANJIMAS.COM) – Abu Dawud rahimahullah adalah putra seorang perawi hadits bernama al-Asy’ats bin Ishaq rahimahullah. Abu Dawud punya saudara bernama Muhammad bin al-Asy’ats rahimahullah yang menjadi teman seperjuangannya dalam menekuni dunia intelektual.
Lelaki bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani rahimahullah ini dilahirkan pada 817 M/202 H di Sijistan, sebuah provinsi kecil yang berbatasan dengan Sind (Pakistan) dan terletak di sebelah barat Hirrah (Afghanistan) dan sebelah utara Gurun Sahara.
Sejak remaja, tokoh perawi hadits yang kini masyhur dengan sebutan Imam Abu Dawud ini sudah mulai menekuni hadits. Saat berumur 19 tahun (221 H), ia berada di Baghdad dan berjumpa dengan Imam Muslim rahimahullah. Saat Sang Imam wafat, Abu Dawud pun ikut menshalatkannya. Sebelum itu, ia telah berkelana ke Khurasan, Baghlan, Harran, Rayy, dan Naisabur. Saudaranya menjadi teman setia dalam mengembara.
Pengembaraan intelektual yang dijalaninya cukup panjang. Selain tersebut di atas, ia juga memburu hadits sampai ke Saudi Arabia, Irak, Mesir, Suriah, Marv, Hijaz, Syam, Sagar, dll. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu ulama yang paling panjang pengembaraan intelektualnya.
Pengembaraan panjang itu memertemukan Abu Dawud dengan banyak ulama yang kemudian menjadi gurunya. Di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abdullah bin Raja’, Abdul Walid at-Thayalisi, Usman bin Abu Syaibah, Qutaibah bin Sa’id, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, dan Abu Ustman Sa’id bin Manshur rahimahumullah.
Kegigihannya dalam belajar dan mengumpulkan hadits membuat kewenangan ilmiah Imam Abu Dawud dalam per-hadits-an benar-benar mumpuni. Ibrahim al-Harbi rahimahullah berkomentar, “Hadits telah dilunakkan untuk Abu Dawud sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud.”
Tak hanya menguasai teori, Imam Abu Dawud rahimahullah adalah sosok yang jujur akan ilmunya. Hal ini tercermin dalam sikapnya yang arif, tidak diskriminatif. Ia tidak memandang predikat keduniaan sebagai hal yang diutamakan. Dan sebagaimana pribadi para ulama salaf pada umumnya, ia bukan tipe penjilat penguasa.
Saat di Baghdad, Amirul Mukminin Abu Ahmad al-Muwaffaq rahimahullah meminta Imam Abu Dawud tinggal di Bashrah agar masyarakat bisa berguru kepadanya. Dengan begitu kota itu diharapkan akan makmur lagi setelah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji. Permintaan kedua adalah agar Sang Imam menjadi guru bagi anak-anaknya. Dan yang ketiga adalah agar ia mengajar di majlis khusus keluarga istana, sebab mereka enggan duduk satu majelis dengan rakyat jelata. Merespon permintaan si penguasa, Imam Abu Dawud memberi jawaban tegas, “Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama.” Sejak itu, keluarga istana berguru satu majelis dengan rakyat jelata dengan diberi tirai pemisah.
Ia juga berkepribadian zuhud dan berani berinovasi. Itu terbukti dalam caranya berpakaian. Imam Abu Dawud rahimahullah punya prinsip yang cukup menggelitik dalam hal ini. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ditanya mengapa demikian, jawabnya, “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan.” Super sekali! Dua pelajaran berharga kita dapati sekaligus darinya. Seperlunya dan kreativitas. Hendaknya para perancang busana membuat pakaian sefunsional mungkin dan mencipta desain berestetika edukatif.
Di Bashrah, Imam Abu Dawud rahimahullah menjadi imam dari imam-imam Ahlussunnah. Saat itu kota ini menjadi tempat berkembangnya berbagai firqah yang bermasalah, ada Qadariyah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah Rafidhah, Jahmiyah, dll. Menyaksikan kenyataan tersebut, Sang Imam senantiasa melakukan upaya pelurusan pemikiran kaum Muslim secara ilmiah. Dalam mengoreksi faham Qadariyah, ia menyusun Kitab al-Qadar. Terhadap Khawarij, ia mengoreksinya lewat Akhbar al-Khawarij. Dan dalam kitabnya as-Sunan pun terdapat koreksi-koreksi atas kesesatan faham Jahmiyah, Murji’ah dan Mu’tazilah.
Langkah ini layak menjadi teladan bagi aktivis Muslim saat ini. Dalam beramar ma’ruf nahi munkar hendaknya mengutamakan pendekatan intelektual daripada aksi fisik secara frontal. Untuk itu gerakan intelektual harus ditumbuhkembangkan dalam komunitas Muslim. Jangan sampai budaya literasi kita terus-terusan kalah dengan umat lain.
Kegigihan Imam Abu Dawud dalam mendidik umat membuahkan hasil yang menggembirakan. Banyak murid-muridnya yang menjadi ulama besar dan menyumbang peran penting bagi perkembangan peradaban Islam. Di antara mereka ada Abu Isa at-Tirmidzi (Imam Tirmidzi), Abu Abdurrahman an-Nasa’i (Imam Nasa’i), Abu Bakar bin Abu Dawud (putra), Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id aj-Jaldawi, Abu Ubaid al-Ajury,
Abu Thayyib Ahmad bin Ibrahim al-Baghdadi, Abu ‘Amr Ahmad bin Ali al-Bashri, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Khallal al-Faqih, Ismail bin Muhammad ash-Shafar, Zakariya bin Yahya as-Saaji, Abu Bakr Ibnu Abi ad-Dunya, Ahmad bin Sulaiman an-Najjar, Ali bin Hasan al-Anshari, Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar, dan Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub al-Matutsi al-Bashri.
Mendidik secara lisan dan berkarya dengan tulisan adalah agenda utama para ulama. Demikian pun Imam Abu Dawud rahimahullah. Kitab yang sudah ia hasilkan antara lain: Kitab as-Sunan (Sunan Abu Dawud), Kitab al-Marasil, Kitab al-Qadar, an-Nasikh wal Mansukh, Fada’ilul A’mal, Kitab az-Zuhud, Dalailun Nubuwah, Ibtida’ul Wahyu, dan al-Akhbarul Khawarij.
Dari sekian banyak karya pena-nya, kitab yang paling monumental adalah as-Sunan, atau yang kita kenal dengan Sunan Abu Dawud. Minat utama Abu Dawud adalah syari’at. Maka Sunan Abu Dawud berfokus murni pada hadits tentang syariat. Kitab ini memuat 4800 hadits yang diseleksi dari 50.000 hadits yang berhasil dihimpunnya. Ia menyusun kitab itu saat berada di Baghdad. Ia pernah menunjukkan karya tersebut kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah untuk diberi masukan. Sang Guru pun lantas memujinya sebagai kitab yang sangat berkualitas. Ulama mengakui kitab ini sebagai salah satu kitab hadits paling otentik, walau masih terdapat beberapa hadits lemah di dalamnya. Hadits lemah itu sebagian ia beri tanda dan sebagian lagi tidak. Ia mendapat peringkat ketiga dalam Kutubussittah (kitab yang enam), setelah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Mengomentari kitab ini, Imam al-Ghazali rahimahullah berpendapat bahwa Sunan Abu Dawud sudah cukup dijadikan landasan hukum bagi seorang mujtahid.
Imam Abu Dawud rahimahullah memeroleh karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala umur yang cukup panjang (73 tahun). Ia wafat di Bashrah pada 16 Syawal 275 H dengan meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar bin Abu Dawud rahimahullah (230-316 H). Sungguh berkah umurnya karena diisi untuk belajar dan menebar ilmu kebenaran. Kitab-kitab karyanya, terlebih lagi Kitab Sunan Abu Dawud yang memuat 4800 pesan-pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa menjadi rujukan kaum Muslim sampai sekarang. Wallahu a’lam. []