(PANJIMAS.COM) – Nama Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tidak asing di telinga kaum Muslim saat ini. Ya, karena ia seorang ulama besar yang warisan kitabnya masih dirujuk hingga kini. Ibnu Jarir memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalib ath-Thabari rahimahullah. Ia dilahirkan pada 224 H di Amol, Thabaristan, Persia (selatan Laut Kaspia). Setelah menapaki beberapa negeri guna menuntut ilmu, ia kemudian menetap di “gudang ilmu” Baghdad hingga wafat.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah tumbuh di alam keilmuan yang mengantarkannya menjadi seorang sejarawan dan pemikir Muslim ampuh Persia. Perjalanan menutut ilmu dimulainya setelah 240 H. Ia sempat mengenyam pendidikan di Rayy, Syam, Mesir, dan Baghdad. Semangatnya yang menggelora tak saja dalam aktivitas menimba ilmu, dalam “mangikat” ilmu yang telah dikuasainya pun juga begitu. Ada riwayat mengatakan, sejarawan yang juga mufasir ini mampu menulis 40 halaman dalam sehari.
Benarlah, Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berhasil melahirkan karya-karya monumental selama hidupnya. Di antara kitabnya yang masyhur adalah Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal dengan Tarikh ath-Thabari. Kitab ini memuat sejarah dunia sampai 915 M dengan akurasi tingkat tinggi dalam mencatat sejarah Arab dan Muslim.
Karya monumental lainnya adalah Tafsir ath-Thabari, yang sering dijadikan rujukan oleh para pemikir Muslim lain, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan Ibnu Katsir rahimahumullah. Penulisan kitab ini melalui proses spiritual yang tak sederhana. Dikatakannya, “Tiga tahun lamanya aku memohon pilihan terbaik kepada Allah dan meminta pertolonganNya atas penulisan karya tafsir yang aku niatkan, sebelum aku mengerjakannya. Lantas Dia memberikan pertolonganNya kepadaku.”
Ibnu Jarir juga menulis kitab perihal hadits, yakni Tahdzibul Atsar. Di sini termuat hadist beserta illatnya, jalan-jalannya, hukum-hukum yang terkandung, serta perbedaan pendapat para ahli fiqih beserta dalil-dalilnya, yang juga diterangkan dari segi bahasa. Sayangnya, kitab ini tidak sempat disusun sampai tuntas. Namun ada kitab hadits yang sempurna disusunnya, yakni Musnad Ibnu Abbas. Bahkan ia menjadi kitab terbaik di masanya.
Menurut al-Khathib al-Baghdadi rahimaullah, Ibnu Jarir adalah salah satu ulama yang perkataannya dijadikan putusan hukum dan pendapatnya dijadikan rujukan. Ia juga hafal al-Qur’an, menguasai qira’at, paham akan makna, faqih dalam hukum, paham hadits beserta serba-serbinya, paham atsar shahabat dan tabi’in, serta menguasai sejarah.
Dunia keilmuan rupanya telah menjadi pilihan hidupnya. Agar lebih fokus sebagai intelektual, Ibnu Jarir rahimahullah memilih tidak mau menerima jabatan di pemerintahan. Di masa itu memang sudah menjadi kebiasaan ulama menjauhi kekuasaan. Ia pernah ditawari jabatan Qadhi, tetapi ditolaknya. Demikian juga jabatan sebagai al-Mazalim (lembaga pengaduan atas tindak kezaliman).
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah wafat pada hari Ahad di bulan Syawal 310 H dalam usia 86 tahun. Menjelang wafat, seseorang memintanya agar berwasiat. Lalu ia berkata, “Hal yang aku jadikan agamaku kepada Allah dan aku wasiatkan adalah apa yang sudah valid (dalil yang shahih) di dalam kitab-kitab karyaku. Amalkanlah itu!” Ia wafat di Baghdad dan dimakamkan di sana. Wallahu a’lam. []