(PANJIMAS.COM) -Namanya Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, dan biasa dipanggil Abu Abdurahman. Ia dilahirkan di Yatsrib dan tumbuh menjadi remaja berpostur atletis, berkulit cerah, tinggi, berambut ikal dipangkas pendek, dan giginya putih bersih berkilauan. Di masa hangat-hangatnya mencari jati diri inilah ia mendapat hidayah. Tepatnya di umur 18 tahun ia berkonversi aqidah menjadi Muslim. Kala itu, remaja kharismatik ini menjadi satu dari 72 penduduk Yatsrib yang berbai’at kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam Baiatul Aqabah yang kedua.
Setelah berbaiat Mu’adz pulang ke kampung halamannya, Yatsrib, dan berdakwah di sana. Beberapa tokoh penting di kota yang kemudian dinamai Madinah itu mendapat hidayah Allah subhanahu wa ta’ala melalui gerakan dakwahnya. Di antaranya ada Amru bin al-Jamuh radhiyallahu ‘anhu.
Setelah Nabi dan Muslim Makkah hijrah ke Yatsrib dan diadakan pensaudaraan Anshar-Muhajirin, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu dipersaudarakan dengan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu (menurut referensi lain dengan Ja’far radhiyallahu ‘anhu).
Di Madinah, Mu’adz menjadi shahabat dekat sekaligus murid Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dengan potensi kecemerlangan akalnya, pelajaran dari beliau dapat ia tangkap dengan baik. Seiring perguliran waktu, ia tumbuh menjadi shahabat yang paling bagus bacaan al-Qur’an-nya dan diakui khalayak akan kefaqihannya. Sampai-sampai Nabi menegas,
“Yang kumaksud umatku yang paling paham tentang halal dan haram ialah Mu’adz bin Jabal!” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu juga punya andil dalam periwayatan hadits. Ia tercatat meriwayatkan sabda-sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam dari Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Sedang yang meriwayatkan dari dirinya ialah Anas bin Malik, Masruq, dan Abu Thufail Amir bin Wasilah radhiyallahu ‘anhum. Tak hanya kontribusi dalam per-hadits-an, lelaki Anshar ini pun menjadi satu di antara enam shahabat pengemban tugas penghimpunan naskah-naskah al-Qur’an di masa hidup Rasulullah SAW.
Setelah Makkah berhasil direngkuh, penduduknya masuk Islam secara massal dan kian hari kian bertambah saja. Hal ini mendorong bangsa eks penyembah berhala itu butuh ulama untuk memeradabkan masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberi respon positif. Segera saja beliau mendaulat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu menjadi ustadz di sana. Sebuah tugas mulia nan bergengsi yang tak sepantutnya ditolak. Pemuda Anshar ini pun berangkat ke Makkah dan menetap di sana.
Cahaya Islam semakin menyebar luas rupanya. Para bangsawan Yaman sengaja berkunjung ke Madinah guna menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam untuk menyatakan keislaman mereka. Kecemerlangan cahaya Islam ini lantaran cerminan perilaku Rasul dan para pengikutnya. Tindak-tanduk yang terpuji membekaskan kesan tersendiri yang mengerosi kerak penutup hati. Hati pun terbuka untuk hidayah Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagai kelanjutannya, permintaan senada dengan bangsa Quraisy Makkah diajukan para bangsawan Yaman kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam. Dan siapa sosok guru yang beliau pilih? Mu’adz! Setelah Makkah, ia dimutasikan ke Yaman ditemani beberapa shahabat lain.
Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu bukan tipe pengajar yang bekerja semata karena tuntutan profesi, ia mendidik dengan hati. Ia bukan tukang berteori, ia sosok guru sejati. Ilmu yang ia kuasai bukan hanya untuk ditransfer ke murid-muridnya, dalam kehidupan nyata ia benar-benar mengamalkannya.
Di Yaman, selain menjadi pendidik, Mu’adz juga berdagang sebagaimana para sahabat lainnya. Kesempurnaan adab dalam bermuamalah membuat usahanya maju pesat. Ia tumbuh menjadi orang kaya yang bijak menyikapi harta bendanya. Sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam wafat ia masih berada di sana.
Di masa Kekhalifaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Gubernur Syam meminta kiriman ulama untuk mendidik masyarakatnya. Sang Khalifah lantas memanggil Mu’adz bin Jabal, Ubaidah bin as-Shamit, Abu Ayub al-Ansary, Ubai bin Kaab, dan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhum, untuk bermusyawarah. Setelah didiskusikan, diputuskan hanya tiga orang saja yang ditugaskan ke wilayah itu. Abu Ayub sudah berusia lanjut, dan kondisi kesehatan ubay kurang mendukung untuk tugas mulia ini.
“Mulailah kalian bertugas di Hims. Sekiranya cocok, bolehlah salah seorang dari kalian tinggal di sana. Kemudian seorang lagi di Damsyik, dan seorang lagi di Palestina,” perintah Umar.
Perjalanan dimulai. Mereka bertiga menuju Hims dan meninggalkan di sana Ubaidah bin as-Shamit. Lantas Abu Darda’ melanjutkan perjalanan ke Damsyik dan Mu’adz bin Jabal menuju Urdun.
Guru sejati, mendidik dengan hati sampai rela mati. Saat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berada di Urdun, negeri itu tengah terserang wabah penyakit menular. Banyak masyarakat sana menjadi korban. Begitu pun Sang Guru Sejati, ia tak terluput dari penyakit tersebut hingga ajal menjemput. Sungguh kematian yang sangat mulia. Wallahu a’lam. []