PANJIMAS.COM – Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu dilahirkan pada tahun ke-7 kenabian. Saat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam wafat, ia baru berumur 17 tahun. Ayahandanya adalah seorang bangsawan kaya dan terpandang bernama Amru bin Ash. Abdullah masuk Islam lebih dulu dari ayahnya. Ia tumbuh menjadi pemuda yang giat menjalankan berbagai ritual ibadah sunah dan membaca al-Qur’an. Ia hafal Kitabullah secara utuh, 30 juz dan biasa mengkhatamkannya dalam sehari.
Saat Amr bin Ash menyusul putranya masuk Islam, ia menjadi ahli strategi perang pasukan Muslim dan menjadi negarawan ulung. Abdullah tak mau kalah dengan ayahnya; di medan jihad, ia berada di garis depan.
Ketika kebanyakan orang masih buta huruf, Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu sudah mahir baca-tulis. Ia memiliki kebiasaan yang tidak umum dilakukan oleh para shahabat. Ia gemar sekali mencatat sabda-sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.
Walau dibesarkan di tengah keluarga bangsawan kaya raya, Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu memiliki jiwa yang zuhud. Kenikmatan duniawi baginya hal yang sangat sepele dan jangan sampai mengurangi moment khalwat bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini terbukti ketika ayahnya berkunjung ke kediamannya beberapa hari pasca pernikahannya. Di sana, Amr bin Ash menanyai menantunnya perihal putranya.
“Bagaimana keadaan kalian?” sapa Amr bin Ash.
“Sungguh aku tidak mencela akhlak dan keshalihannya. Tetapi sepertinya ia tidak membutuhkan seorang wanita di sisinya,” jawab istri Abdullah.
Karena cintanya dengan ibadah-ibadah sunah yang biasa ia kerjakan di masa lajangnya, sampai-sampai ia tak sempat menyentuh istrinya. Mendapat laporan demikian, Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu berkonsultasi kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam.
Rasulullah shalallahu wa sallam pun turun tangan. Beliau bernasihat kepada Abdullah bin Amr. Tapi ia malah memohon, “Ya Rasulullah, izinkanlah aku menggunakan sepenuh tenagaku untuk beribadah kepada Allah!”
Jawab Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, “Jika engkau melakukan itu semua, badanmu akan lemah, matamu akan sakit karena semalaman tidak tidur. Sesungguhnya badanmu punya hak, keluargamu juga punya hak, dan para tamu pun punya hak atas dirimu.”
Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu masih saja mengajak bernegosiasi. Lalu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam merekomendasikan kuantitas tertentu untuk masing-masing jenis peribadatan. Beliau menyarankan agar berpuasa tiga hari saja dalam sebulan (puasa yaumul bidh), tetapi Abdullah minta tambahan. Setelah diberi dua hari sepekan (puasa Senin Kamis), ia masih minta tambahan. Akhirnya beliau memberi batasan maksimal dengan puasa Dawud (sehari puasa, sehari tidak).
Dalam khataman al-Qur’an, mulanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam menyarankan agar dalam sebulan sekali khatam. Setelah Abdullah menawar, beliau menyarankan 20 hari sekali, tapi masih ditawar lagi. Lalu beliau menambah menjadi 10 hari sekali. Ditawar lagi, jadi sepekan sekali. Tapi frekuensi segitu bagi Abdullah masih kurang tinggi. Akhirnya beliau menetapkan batas maksimal tiga hari sekali (atau dalam riwayat lain, lima hari sekali), dengan catatan tidak ada larangan untuk lebih dari itu.
Lalu untuk shalat malam (qiyamullail), Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam melarang Abdullah menghabiskan seutuh malamnya untuk shalat terus-menerus. Harus ada waktu untuk tidur, dan ada kalanya bersenggama dengan istrinya.
Setelah negosiasi tersebut, Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu dapat mengatur jadwal aktivitas hariannya sedemikian rupa, sehingga hak-hak keluarga, badan, tamu, dan lainnya dapat tertunaikan, dan waktu berkhalwat bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap terlaksana dengan baik.
Di samping ghirahnya yang sangat tinggi dalam menjalankan bentuk-bentuk ibadah mahdhah yang disunahkan, sebagaimana telah disinggung di depan, Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu memiliki tradisi langka mencatat apapun yang disabdakan Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pada lembaran yang disebut shadiqah. Ia mentradisikan ini dengan tujuan untuk memudahkan dirinya dalam menghafalkan hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya Rasulullah pernah melarang para shahabat mencatat sabda-sabda beliau karena dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan ayat-ayat al-Qur’an. Tetapi kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menugaskan beberapa shahabat untuk mencatat firman-firman Allah dan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu tidak termasuk di dalamnya. Dengan begitu, tidak ada lagi kemungkinan ayat al-Qur’an tercampur dengan hadits.
Beberapa shahabat pernah pula berkomentar terkait kebiasaan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu menulis hadits. Mereka mengatakan, “Rasulullah juga manusia biasa, terkadang beliau marah, dan dalam marahnya ini beliau mengatakan sesuatu. Terkadang beliau hanya bercanda dengan ucapannya. Karena itu jangan engkau mencatat apa saja yang beliau sabdakan!”
Menerima masukan demikian, Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu sempat menghentikan tradisi tersebut. Tapi rupanya tradisi menulis ini sudah menjadi kebiasaan baginya, serasa ada yang kurang bila ia tak mekakukannya. Karena itu ia menghadap Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan berkonsultasi perihal ini.
Ternyata, betapa bahagianya Abdullah, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam tak memersoalkannya, bahkan mendorong pemuda itu untuk melanjutkan tradisi menulisnya.
“Teruskanlah menulis, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, setiap perkataanku adalah kebenaran, walaupun aku dalam keadaan marah, ataupun aku dalam keadaan senang!”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga pernah mengomentari tradisi Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu. Ia mengatakan, “Di antara para sahabat, tidak ada yang menyamaiku dalam menghafal hadits Nabi kecuali Ibnu Amr bin Ash. Karena ia selalu mencatat apa saja yang disabdakan Nabi, sedang aku hanya mengandalkan ingatan saja.”
Masa tua Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu tak seberapa berbeda dengan masa mudanya. Ia tetap menjadi ahli ibadah ulung sampai ujung usia. Ia wafat pada umur 72 tahun di mushalla rumahnya, saat sedang bermunajat usai shalat. Wallahu a’lam. [IB]