(Panjimas.com) – Abdullah bin Abbas ra, atau yang masyhur dengan Ibnu Abbas ra, adalah putra dari Abbas bin Abdul Muththalib ra, paman Rasulullah Muhammad saw, yang seorang saudagar kaya. Ia dilahirkan pada 619 M di Jazirah Arab. Ibunya bernama Ummu al-Fadl Lubaba ra, yang merupakan wanita pemeluk Islam kedua setelah Khadijah ra. Ibnu Abbas ra memiliki satu saudara bernama Fadl bin Abbas ra.
Sebagai shahabat yang dekat dengan Rasulullah saw, Ibnu Abbas ra sempat meriwayatkan banyak hadits. Masyarakat Arab mengakuinya sebagai seorang cendikiawan, seorang yang kaya wawasan. Ia menjadi pembelajar ulung sejak masih kanak-kanak.
Suatu ketika, si bocah Ibnu Abbas ra penasaran dengan cara Nabi saw melakukan shalat. Ia ingin sekali mengetahui dengan mata kepalanya sendiri. Maka ia menginap di rumah bibinya, Maimunah binti al-Harits ra (istri Nabi saw), di saat jadwal Sang Nabi berdiam di rumahnya. Ia berjaga menanti Rasulullah saw bangun untuk shalat malam. Setelah kesunyian panjang, sampailah detik di mana terdengar suara suami bibinya bangun. Sekelebat cepat si kecil bengkit menapakkan kaki mengambilkan air wudhu Sang Nabi. Dasar ulah bocah kecil… Terkejutlah Utusan Allah swt melihat ia memegang wadah di depan mata. Beliu mendekat, lalu mengelus kepalanya seraya berdoa, “Ya Allah, berikanlah ia kepandaian dalam agamaMu, ajarilah ia tafsir kitabMu.”
Ibnu Abbas ra menjadi makmum Rasulullah saw bersama bibinya. Ia menempatkan diri sedikit di belakang Rasulullah saw. Beliau menariknya sampai hampir sejajar di samping kanan. Si kecil mundur lagi ke tempatnya semula. Nabi saw mendiamkan sampai shalat tuntas dijalankan. Baru kemudian beliau menanyakan mengapa ia mundur kembali. “Wahai kekasih Allah dan manusia, tak pantas kiranya aku berdiri sejajar dengan utusan Allah,” jawab Ibnu Abbas ra dengan polos. Rasulullah saw tersenyum, lalu mengulangi doanya tadi.
Masa kecil Ibnu Abbas ra benar-benar seperti dihabiskan hanya untuk berguru kepada Muhammad saw. Hingga saat ia berumur tiga belas tahun, sang guru wafat. Ibnu Abbas ra menglami kesedihan yang mendalam, ia sangat merasa kehilangan. Bagaimana tidak, seorang Nabi Akhir Zaman yang selama ini menjadi pemberi nasihat dan mengajarkan ilmu kehidupan yang pasti benar dan terbaik, telah meninggal dunia. Namun, kesedihan tak menjadikannya berputus asa. Jiwa binaan Sang Nabi telah mengakar di dirinya. Ia tetap beristiqamah menempuh jalan keilmuan. Ia menimba ilmu kepada para shahabat. Maka benarlah, ia pun menjadi seorang ilmuwan. Penguasaan ilmunya jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya. Sebab itulah ia kerap kali diajak berdiskusi dengan para sahabat senior. Salah satunya Umar bin Khattab ra, ia selalu memanggil Ibnu Abbas ra untuk turut serta dalam bermusyawarah.
Walau usia masih remaja, namun pendapat-pendapat Ibnu Abbas ra selalu diperhitungkan. Sampai-sampai Umar bin Khathathab ra menjulukinnya “Si Pemuda Tua”. Doa Rasulullah saw benar-benar telah terwujud nyata.
Selanjutnya, Ibnu Abbas ra menjadi tempat bertanya, karena kegemarannya sejak kecil bertanya. Ia menjadi tempat menimba ilmu, karena kesukaannya sejak kecil menimba ilmu. Begitulah kehidupannya hingga tua, hingga tutup usia. Menurut keterangan Ibnu Jubair ra, Ibnu Abbas ra wafat di Thaif pada 78 H. Sejarah pun mencatat, keturunannya kelak menjadi para pemimpin kaum Muslim di masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah. Wallahu a’lam. [IB]