(Panjimas.com) – Salman al-Farisi, seorang shahabat asal Persia. Para shahabat biasa memanggilnya Abu Abdullah. Pada mulanya, Salman seorang bangsawan di negerinya. Sebagai seorang Persi, wajar bila ia menganut agama Majusi, agama mayoritas penduduk negeri di daratan Syam itu.
Setiap manusia mebutuhkan ketenangan jiwa, demikian pun Salman. Namun, ia merasakan agama yang dianutnya tak mampu memenuhi kebutuhan itu. Perjalanan spiritual pun ia tempuh demi memeroleh obat hati. Ia mencari agama baru yang dapat memberikan ketenteraman jiwa.
Salman mengayunkan langkah sebagai ikhtiar melawan gejolak batin yang dialami. Perjalanan panjang seorang bangsawan ditempuh. Hingga suatu hari, sampailah ia di Jazirah Arab. Di tanah itulah agama impian ia dijumpai, agama yang sanggup menenteramkan hati. Islam, nama agama itu. Satu keputusan ia ambil, masuk Islam.
Setelah menjadi Mukmin, Salman al-Farisi ra menyumbangkan peran besar untuk Islam sesuai potensi, ilmu, dan pengalaman yang dimilikinya. Ia menjadi teknokrat medan perang fi sabilillah.
Suatu ketika terjadilah Perang Khandaq, yakni pada tahun kelima pascahijrah. Beberapa pemuka Yahudi memasuki Makkah dan menghasut kaum musyrikin agar bersekutu melawan Rasulullah saw dan kaum Muslim. Mereka menebar janji akan memberi bantuan dalam perang penentuan yang dicanangkan akan menumbangkan Islam hingga tercerabut akar-akarnya.
Siasat perang diatur secara licik. Tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang Kota Madinah dari luar. Sementara, Bani Quraidzah (Yahudi) akan menyerang dari dalam (dari belakang barisan Muslim) sehingga Muslim akan terjepit dan dilumat habis!
Tibalah suatu hari. Nun jauh di sana, kaum Muslim melihat laju sepasukan besar tentara menuju Kota Madinah. Perbekalan yang dibawa terbilang banyak, demikian juga persenjataannya, lengkap. Agaknya mereka sudah sangat siap untuk menghancurluluhkan kaum yang dimusuhi. Para shahabat panik. Sungguh, apa yang mereka saksikan benar-benar di luar dugaan. al-Quran mengabadikan keadaan tersebut,
“Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah.” (al-Ahzab: 10)
Tak main-main memang, Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn memimpin 24.000 pasukan. Target mereka satu, menghancur-leburkan kaum Muslim sehingga Islam tumbang tercerabut seluruh akarnya.
Rupanya hasutan para tokoh Yahudi membuahkan hasil. Pasukan sebanyak itu merupakan koalisi Quraisy dengan sejumlah kabilah yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan eksistensi mereka.
Rasulullah saw dan para shahabat menginsyafi gawatnya situasi saat itu. Mereka berkumpul untuk bermusyawarah. Satu kata sepakat adalah bertahan dan mengangkat senjata. Namun, langkah riil apa yang harus ditempuh, yang secara nalar dapat diandalkan? Itulah PR mereka.
Dalam situasi tegang itu, seorang lalaki jangkung berambut lebat tampil. Dari tempat yang tinggi ia mengamati landskape sekeliling Kota Madinah. Tampak ibu kota peradaban Islam dikelilingi bukit dan gunung seolah benteng alam. Tetapi, tampak pula sebuah kawasan lapang terbentang, yang memungkinkan menjadi pintu masuk pasukan musuh untuk menyerang.
Lelaki itu adalah Salman al-Farisi ra. Di negerinya dulu, ia sempat memeroleh banyak ilmu dan pengalaman tentang teknik dan sarana perang. Bagaimana siasat dan lika-likunya, ia sangat menguasai. Sebuah ide muncul di benaknya, ‘jurus’ yang belum pernah dikenal orang Arab sebelumnya. Ialah penggalian khandaq (parit perlindungan) di sepanjang kawasan lapang yang berpotensi diterobos musuh. Disampaikannyalah gagasan itu kepada Rasulullah saw. Dengan penjelasan teknis yang logis, diterimalah gagasan Salman.
Rasulullah saw mengomando para shahabat merealisasikan proyek buah pikiran Salman al-Farisi ra. Setelah dirancang matang, mula dibuatlah parit perlindungan di area yang telah ditentukan. Salman dan para shahabat bergotong royong melakukan penggalian. Tidak ketinggalan Rasulullah saw, sang panutan umat ini turut serta memegang tembilang, memecah bebatuan.
Satu ketika di sebuah titik, Salman menemukan sebongkah batu besar. Walau bertubuh kekar dan perkasa, ia tak mampu memecahnya. Bantuan para shahabat pun tak membuahkan hasil. Lelah, Salman pun menghampiri Rasulullah saw, mohon izin membelokkan jalur parit dari garis semula. Sang Nabi mendatangi lokasi batu itu, meminta sebuah tembilang, dan meminta para shahabat agak menjauh agar tak terkena percikan. Dengan basmallah, beliau mengangkat tembilang itu dengan kedua tangan, lalu mengayunkannya ke arah si batu besar. Dan… ketika mata tembilang mengenai batu tersebut, sekilatan api tampak bersinar mencahayai sekitar.
“Saya lihat kilatan api itu menerangi pinggiran Kota Madinah,” kata Salman.
Rasulullah saw bertakbir, lalu bersabda,
“Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi. Dan dari kilatan api tadi tampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah. Begitu pula kota-kota maharaja Persi, dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu!”
Rasulullah saw memukulkan tembilang lagi, lalu terjadilah kilatan api seperti yang pertama. Lalu sabda beliau setelah bertakbir,
“Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa umatku akan menguasainya!”
Kemudian pada pukulan yang ketiga, batu besar hancur berkeping-keping, dan lagi-lagi kilatan api bersinar mencahayai sekitar. Rasulullah saw membaca kalimah tayibah diikuti para shahabat. Beliau bersabda bahwa saat itu dirinya sedang menyaksikan istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria, Shan’a, dan sejumlah daerah lain yang kelak di kemudian hari akan nyata dikibarkan panji-panji Islam. Dengan dasar iman di dada, kaum Muslim serentak berseru, “Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya. Dan benarlah Allah dan RasulNya!” Proyek pembangunan khandaq pun tuntas sebelum pasukan koalisi Quraisy-Yahudi tiba dan menerobos kawasan lapang.
Pasukan koalisi semakin dekat. Sampai di satu titik langkah, tampaklah parit panjang terbentang di hadapan. Hal yang tak terbayang sebelumnya. Runtuhlah semangat mereka. Tidak kurang sebulan lamanya, mereka hanya terpaku di kemah-kemah karena tiada daya untuk masuk Kota Madinah.
Sampai pada suatu malam, Allah swt mengirim angin topan. Kemah-kemah pasukan koalisi terbang mengawang seperti jerami-jerami kering tertiup angin kencang. Seluruh perbekalan porak-poranda. Abu Sufyan menyeru pasukan agar kembali pulang. Mereka pun kembali dengan gigit jari menahan derita hati.
Salman al-Farisi ra, seorang mantan bangsawan Parsi telah menyumbang jasa besar yang tercatat oleh sejarah. Ia menjadi ikon inovasi teknik berperang. Waktu terus berjalan dan ia teguh di dalam iman, istiqamah berada di dalam barisan pejuang kebenaran. Hingga pada suatu masa setelah meninggalnya Nabi Muhammad saw, ia mengemban tugas dakwah di luar Madinah. Sang mantan bangsawan dikirim ke kampung halamannya untuk menjadi gubernur di sana. Di negeri itulah ia berdakwah dengan posisinya sebagai negarawan, hingga wafat. Wallahu a’lam. [IB]