(Panjimas.com) – Selama ini Mohammad Natsir lebih kita kenal sebagai politisi dan negarawan yang sangat anti penjajahan dan kuat memegang Islam. Namun sejatinya, di samping itu pria bergelar Datuk Sinaro Panjang ini memiliki andil yang amat besar dalam membangun dan meluruskan pendidikan di Indonesia. Ia mengkritisi pendidikan sekular dan memelopori integrasi pendidikan agama dan umum.
Keberanian Natsir dalam memerjuangkan pendidikan yang baik bagi bangsa Indonesia di antaranya pendirian wilde school (sekolah liar) dan penetapan keputusan pewajiban pelajaran agama di sekolah negeri bersama Menteri Agama Wahid Hasyim.
Perhatian pria kelahiran Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908 ini kiranya sudah tumbuh sejak kecil. Natsir termasuk anak yang beruntung waktu itu. Sebagai putra seorang pegawai rendahan, ia memeroleh kesempatan belajar secara formal di sekolah yang tak dapat dimasuki oleh anak-anak lain dari strata sosial yang sama. Pemerintah Hindia Belanda waktu itu bersikap diskriminatif, anak-anak pribumi, terlebih yang berasal dari keluarga akar rumput, hanya boleh bersekolah di sekolah “angka loro”, yang kastanya berada di bawah dua macam sekolah lain, yakni ELS (khusus bangsa Eropa) dan HIS (untuk pribumi anak pejabat).
Beruntunglah Natsir. Ia diajak pamannya hijrah ke Padang untuk bersekolah di HIS Adabiyah (swasta). Ternyata, HIS Adabiyah yang bernuansa Islam ini berbeda dengan HIS pemerintah Hindia. Pendidikan di sana lebih menjiwa, sehingga Natsir terinspirasi dan di kemudian hari mendirikan sekolah serupa di Bandung bersama sahabatnya, Fakhruddin al-Khairi. Natsir mengenal perbedaan dari keduanya karena setelah bersekolah di HIS Adabiyah, ia pindah ke HIS pemerintah karena ayahnya pindah tugas. Waktu itu ia lulus test untuk langsung masuk di kelas dua.
Setelah itu Natsir melanjutkan sekolah di MULO Padang dan masuk ke organisasi Jong Islamiten Bond (JIB). Di sinilah ia berlatih terjun ke masyarakat. Selepas lulus pada 1927, ia melanjutkan studi ke AMS Bandung. Di kota inilah ia berkenalan dan berteman dengan Fakhruddin al-Khairi yang kemudian memerkenalkannya dengan A. Hasan. Selanjutnya ia banyak berguru pada Ulama pendiri Persatuan Islam (Persis) ini. Maka semakin terasahlah pemikiran-pemikiran keislamannya, termasuk yang berkaitan dengan masalah pendidikan.
Menurut Natsir, pendidikan bagi Muslim Indonesia haruslah berlandaskan tauhid. Natsir tidak setuju dengan dualisme pendidikan seperti yang ada di sekolah sekular. Ia memelopori pendidikan integral (memadukan pendidikan agama dan umum).
Natsir pun menjadi pelopor berdirinya perguruan tinggi Islam di Indonesia. Setelah mendirikan Pendis (sekolah pendidikan Islam tingkat menengah), ia berpendapat bahwa pendirian perguruan tinggi Islam adalah diperlukan. Dan tak cukup sampai di situ, pemikiran kritisnya mengharuskan perguruan tinggi Islam mengajarkan agama dan berlandaskan tauhid. Integrasi ilmu agama dan umum harus dilakukan di sana. Ia tak mau perguruan tinggi Islam hanya berhenti pada nama, sedang isinya sama saja dengan perguruan tinggi yang lain.
Perjuangan Natsir membuahkan hasil. Pada 8 Juli 1945, secara resmi berdiri Sekolah Tinggi Islam (STI) yang dirintisnya bersama para petinggi Masyumi, yang kemudian pada November 1947 berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) yang sampai sekarang masih berdiri dan terus berkembang. [IB]