(Panjimas.com) – Ada seorang shahabat Nabi SAW yang sering dikisahkan pernah mengalami penyiksaan atas alasan iman. “Ahadun ahad, ahadun ahad…” terus diucapkannya saat disiksa. Seorang yang berstatus sebagai budak itu pun berhasil menjaga iman, ia tetap istiqamah hingga wafatnya.
Seorang budak beroleh kemuliaan adalah ia. Setelah dimerdekaan oleh orang besar, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, ia menjadi manusia pilihan yang dikenang zaman. Ia menjadi pengumandang adzan di awal masa Islam. Artinya, ia adalah muadzin pertama di dunia. Siapa dia? Adalah Bilal bin Rabah RA.
Bilal bin Rabah atau nama lainnya Bilal Al-Habsyi, Bilal bin Riyah, dan Ibnu Rabah RA, mulanya seorang budak. Kemudian ia masuk Islam. Umayyah bin Khalaf adalah majikannya yang melakukan penyiksaan tanpa peri kemanusiaan terhadapnya setelah tahu bahwa budaknya itu telah menyatakan keimanan pada risalah Muhammad SAW. Si budak disiksa bertubi-tubi setiap hari agar mau kembali lagi kepada kekafiran. Namun Allah SWT Mahakuasa menolong hambaNya. Bilal bin Rabbah RA tetap istiqamah sepanjang usia.
Selain kemuliaan di dunia sebagai pengumandang adzan pertama di dunia, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar suara terompah Bilal di surga. Itu adalah keutamaan atas kebiasaannya menjaga wudhu. Setiap kali batal, lelaki hitam asal Habasyah (Ethiopia) ini kembali mengambil wudhu.
Mengapa Bilal bin Rabah RA dipilih oleh Rasulullah SAW sebagai muadzin sejak syari’at adzan diturunkan? Pasti ada alasannya. Ya, benar, pemuda negro ini ditunjuk karena memiliki kualitas suara yang luar biasa. Allah SWT memberinya kelebihan berupa suara yang sangat merdu dan lantang.
Tugas mulia beradzan Bilal bin Rabah RA dilaksanakan dengan baik hingga wafatnya Nabi SAW. Ia pun sangat dekat dengan Sang Nabi, nyaris tak pernah berpisah, selalu menyertai kemana saja beliau pergi.
Hingga pada awal tahun ke-11 setelah hijrah, Rasulullah SAW tutup usia. Peristiwa ini amat sangat membuat Bilal bersedih hati. Ia merasa sangat kehilangan. Sampai-sampai sejak itu, sebagai muadzin pertama dunia, ia menyatakan diri tidak akan pernah mengumandangkan adzan lagi!
Rasulullah SAW telah Allah muliakan di alam yang berbeda. Maka kepemimpinan Islam yang baru pun dibentuk. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA terpilih untuk mengemban amanah sebagai khalifah. Saat itu, ia meminta Bilal melanjutkan tugas mulianya, menjadi muadzin Masjid Nabawi. Tapi apa jawabannya? Dengan nada sendu, “Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Kini Nabi telah tiada, jadi aku bukanlah muadzin siapa pun jua.”
Amirul Mukminin Abu Bakar Ash-Shiddiq RA terus berusaha mendesak Bilal. Namun apa daya, sang khalifah tak mampu mengubah pendirian lelaki hitam di hadapannya. Kesedihan atas wafatnya Nabi SAW-lah yang membuat Bilal jadi begini. Bahkan, sampai-sampai ia berkeputusan untuk angkat kaki dari Madinah, pergi dari kenangan-kenagan indah yang mengiris hati.
Benar, Bilal tak sedang bercanda. Lelaki berkulit hitam khas Habasyah ini mengawali langkah. Ia pergi meninggalkan Madinah menuju Syam bersama pasukan yang akan berjuang membebasan negeri itu dari penindasan dan kekufuran.
Sampailah Bilal bin Rabah RA di tanah Syam. Ia tinggal di Homs, Syiria untuk menebar dakwah di sana sampai bertahun-tahun lamanya. Selama itu, sekali pun tak pernah ia berkunjung ke Madinah.
Hingga tibalah suatu malam yang istimewa. Malam di mana saat Bilal sedang lelap tidur, ia bermimpi didatangi seorang yang sangat dicintai, seorang teladan sejati. Malam itu, ia bermimpi didatangi Rasulullah SAW. Dan satu pertanyaan tertuju padanya, “Wahai Bilal, mengapa dirimu tak pernah mengunjungiku?”
Sontak, Bilal bin Rabah RA terperanjat. Jantungnya berdenyut lebih cepat. Ia terbangun, lalu dengan sigap ia bersiap-siap untuk menempuh perjalanan ke Madinah. Sesampainya, ia berziarah di makam Nabi Muhammad SAW.
Di Kota Madinah yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW, Bilal bin Rabah RA menangis tersedu menumpahkan rasa rindu. Rindu kepada Sang Nabi SAW yang telah menunjuknya menjadi pengumandang adzan. Saat air mata membasahi pipinya, tetiba ada dua orang pemuda berjalan mendekat. Ternyata mereka adalah cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain RA.
Dengan mata sembab Bilal menatap keduanya. Ia bergerak mendekat, memeluk kedua cucu Nabi SAW itu. Salah seorang dari mereka bicara, “Paman, maukah Engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami, Paman.”
Tak jauh dari tempat itu ada orang yang memerhatikan. Ia Umar bin Khattab RA yang ketika itu memegang amanah sebagai khalifah. Menyaksikan peristiwa mengharukan di depannya, tak kuasa ia menahan ucapan, ia lantas turut memohon kepada Bilal agar mengumandangkan adzan.
Bilal bin Rabah RA yang sudah semakin tua, hatinya luluh, tak kuasa untuk tidak memenuhi permohonan orang-orang yang lama jauh darinya. Ia pun memenuhi permintaan mereka.
Ketika waktu shalat telah tiba, dengan pijakkan kaki yang teguh, Bilal bin Rabah RA menaiki tangga ke tempat di mana dahulu ia biasa mengumandangkan adzan. Ia menarik nafas dalam, memulai suaranya. Lantunan kumandang adzan pun menyapa indera pendengaran banyak orang.
“Allahuakbar Allahuakbar,” ia lafadzkan, Kota Madinah tiba saja senyap. Rupanya aktivitas manusia terhenti seketika. Penduduk Madinah terkejut, suara
yang telah lenyap bertahun-tahun terdengar lagi.
Ketika “Asyhadu an laa ilaha illallah,” orang-orang berlari dari segala penjuru menuju satu titik yang sama, sumber suara itu. Bahkan, para gadis pingitan pun berhambur bersama menuju ke sana.
“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,” sedu-sedan tangis penduduk Madinah membanjirkan air mata. Luapan rindu yang dalam kepada Sang Utusan, Muhammad SAW tak terbendung sudah.
Terkenanglah masa-masa saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah merka. Umar bin Khattab RA orang yang paling keras tangisnya. Bilal bin Rabah RA sendiri yang tengah melantunkan bacaan itu pun tercekat, tak sanggup meneruskannya. Air matanya berderai-derai di pipi.
Hari itu, Madinah berluapan rasa rindu nan syahdu. Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Nabi Muhammad SAW. Lantunan adzan Bilal bi Rabah-lah yang memulainya, yang memantiknya menjadi nyala cahaya. Itulah adzan terakhir dalam usia sang muadzin pertama dunia. Adzan yang tak bisa dituntaskan hingga akhirnya. [IB]