(Panjimas.com) – Sudah menjadi tradisi sejak zaman jahiliyah, setiap melaksanakan ibadah haji dan umrah, Kaum Quraisy, yang mana mereka digelari dengan Al-Hams (Kaum Ksatria), selalu keluar-masuk rumah mereka melalui pintu depan (pintu utama). Demikian pula setiap masuk dan keluar Baitullah. Sebaliknya, penduduk Arab di luar kaum Quraisy diharuskan lewat pintu belakang atau pintu lainnya.
Sementara itu, di Yatsrib ada seorang pemuda bernama Quthbah bin Amir RA yang selalu berusaha meneladani akhlak dan perilaku Nabi SAW, sebagai wujud keimanan dan kecintaannya terhadap ajaran beliau.
Suatu hari di musim haji, Quthbah datang ke Baitullah untuk beribadah. Di sana, ia melakukan tindakan yang berbeda dengan tradisi umum masyarakat. Ia memasuki Baitullah melalui pintu utama. Pun ketika berangkat, ia keluar dari rumahnya melalui pintu utama.
Menyaksikan kelakuan si pemuda, orang-orang lantas menegurnya. Tapi apa tanggapan Quthbah? Bukannya mengaku keliru dan meminta maaf, pemuda itu dengan tegas berujar, “Saya hanya mengikuti Rasulullah.”
Mendengar jawaban itu, orang-orang tak terima dan merasa gusar. Mereka lantas melaporkan kelakuan si pemuda kepada Nabi SAW.
Lalu bagaimana tanggapan Rasulullah SAW? Beliau pun menegur Quthbah.
Namun apa yang terjadi? Mendapat teguran langsung dari Nabi SAW, Quthbah bukannya langsung menerima begitu saja. Ia tetap bergeming dan berkata, “Saya hanya mengikuti apa yang Engkau lakukan, ya Rasulullah.”
“Tetapi aku adalah golongan Al-Hams,” tanggap Nabi SAW.
“Ya Rasulullah, saya adalah penganut ajaranmu!” Quthbah tetap gigih membela pendiriannya. Karena dalam hatinya, ia benar-benar sadar bahwa kelakuannya yang di luar keumuman masyarakat itu adalah wujud nyata kecintaannya kepada Nabi SAW, seorang yang paling layak untuk diteladani di dunia ini.
Mendapat jawaban Quthbah, Rasulullah SAW diam. Tak hanya sekejap, beliau diam sampai beberapa saat. Maka para shahabat pun menjadi gelisah. Di antara mereka mulai geram kepada pemuda itu.
Namun selang beberapa saat, tampaklah rekah senyuman di wajah Rasulullah SAW. Beliau bersabda di hadapan mereka yang berkumpul di sana, “Jibril telah turun membawa wahyu yang membenarkan sikap Quthbah.”
Kemudian beliau menjelaskan tentang wahyu yang baru saja turun, yakni QS. Al-Baqarah: 189. Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah, bukanlah hal penting memasuki rumah dari pintu depan atau belakang, karena semua itu bukanlah kebaikan seperti diyakini masyarakat di zaman jahiliyah. Namun yang terpenting adalah ketakwaan, yang mana itulah kebaikan yang sejati.
Siapa Quthbah bin Amir RA? Ia bernama lengkap Quthbah bin Amir bin Hadidah RA. Adalah shahabat Anshar dari kabilah Bani Salamah, yang termasuk Suku Khazraj.
Pada musim haji tahun ke-11 dakwah Rasulullah SAW, Quthbah bersama lima pemuda Khazraj lain, yakni As’ad bin Zurarah dan Auf bin Harits dari Bani An-Najjar, Rafi bin Malik dari Bani Zuraiq, Uqbah bin Amir dari Bani Hiram, dan Jabir bin Abdiwah dari Bani Ubaid, melakukan bai’at kepada Nabi SAW di Aqabah, Mina. Merekalah orang-orang Yatsrib yang terdahulu masuk Islam. Mereka pulalah yang dapat disebut sebagai pionir dakwah Islam di kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah Al-Munawarah, pusat pemerintahan Islam.
Pada musim haji berikutnya, Quthbah bersama lima temannya datang kembali untuk berbaiat, disertai lima orang baru dari Suku Khazraj dan dua orang dari Suku Aus. Dan peristiwa bai’at ini kemudian disebut sebagai Bai’at Aqabah I.
Demikian, semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk berani melakukan kebajikan apa pun, walau di tengah masyarakat itu dinilai sebagai hal yang tidak umum atau asing. Karena adanya perubahan budaya ke arah yang lebih baik, haruslah diawali dengan tindakan demikian. Namun yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai tindakan kita menimbulkan mudharat bagi kehidupan. Maka itu, pemahaman terhadap kondisi sosial dan psikologi masyarakat adalah sangat diperlukan. Hal ini agar strategi dan metode yang kita terapkan tepat dan dapat berjalan dengan baik. Wallahu a’lam. [IB]