(Panjimas.com) – Pembuktian cinta sahabat Rasulullah ini selalu membuat decak kagum. Ketulusan, keagungan dan kejujuran cintanya kepada Rasulullah menjadi tauladan umat Islam sepanjang zaman. kisah yang satu ini adalah satu dari kisah pembuktian cintanya kepada Rasulullah yang dapat dicontoh oleh kaum muslimin tentang arti cinta sesungguhnya.
Suatu hari, kabar kericuhan yang terjadi di sekitar ka’bah terdengar oleh Bani Taim, salah satu kabilah suku Quraisy. Bergegas mereka menuju kesana untuk melihat keadaan seseorang yang dikenal sebagai lelaki berhati lembut dan dermawan, ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tak sadarkan diri terkulai lemah akibat dari serangan yang dilakukan oleh orang-orang kafir quraisy. Khutbah seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq di ka’bah untuk menyeru manusia agar menauhidkan Allah saja disambut dengan pukulan bertubi-tubi hingga membuat wajahnya babak belur. Bani Taim sempat menyangka bahwa nyawa sang Ash-Shiddiq itu sudah tidak tertolong lagi jika dilihat dari lukanya yang sangat serius.
Kemudian Abu Bakar dibawa menuju rumah kedua orangtuanya, Abu Quhafah dan Ummu Al-Khair. Betapa sedihnya keluarga Abu Bakar melihat wajahnya yang dipenuhi dengan luka lebam. Rumah itu diliputi dengan kesedihan yang mendalam. Keluarga Abu Bakar berkumpul dan membersihkan luka yang berada di wajah Abu Bakar, termasuk di bagian pelipis mata sembari berharap Abu Bakar akan kembali siuman dan mengutuk perbuatan dari orang-orang musyrik yang berpartisipasi dalam penyerangan ini, meskipun kedua orangtua Abu Bakar sendiri belum memeluk Islam.
Setelah berjam-jam tak sadarkan diri, menjelang sore Abu Bakar kembali siuman. Dengan tubuh yang masih lemas, mata yang pelupuknya belum mantap terbuka, dan suara tertatih ia menanyakan sesuatu. Bukan mengeluhkan rasa sakitnya, bukan menghardik orang-orang musyrik quraisy yang memukulinya, namun ia menanyakan kabar seseorang. Seseorang yang amat ia cintai.
“Apakah Rasulullah baik-baik saja?”
Sontak wajah gembira sang Ibu dan anggota keluarga lainnya yang melihat Abu Bakar telah sadar berubah kaget. Tidak ada yang bisa menjawab. Kemudian Abu Bakar disediakan makanan dan sang Ibu hendak menyuapinya, akan tetapi Abu Bakar menolaknya. Ia tidak mau makan sebelum Ibunya mengabarkan keadaan Rasulullah kepadanya. Kemudian sang Ibu menjawab :
“Sungguh! Kami tidak mengetahui keadaan sahabatmu itu!” Jawab Ummu Al-Khair
“Ibu! Tolong, temuilah Jamil binti Al-Khathab dan tanyakan padanya tentang keadaan Rasulullah” pinta Abu Bakar
Selang beberapa saat kemudian Ummu Jamildatang dan kaget melihat kondisi Abu Bakar.
“Benar-benar biadab orang yang memperlakukanmu seperti ini!” kata Ummu Jamil. “Semoga Allah membalas mereka.”
Abu Bakar hanya mampu membuka mata sedikit. Bicaranya pelan dan lirih.
“Bagaimana keadaan Rasulullah?”
“Ia baik-baik saja. Tidak terluka sedikit pun.” jawab Ummu Jamil
“Ada di mana ia sekarang?”
“Di rumah al-Arqam.” Mendengar jawaban itu kemudian Abu Bakar berusaha bangkit, dengan susah payah ia berusaha duduk.
“Aku bersumpah tidak mau makan dan minum kecuali kalian mempertemukan aku dengan Rasulullah”
Ummu al-Khair dan Ummu Jamil tak berhasil membujuk Abu Bakar agar ia memperhatikan tubuhnya yang masih lemah. Mereka berdua akhirnya memapah Abu Bakar dan menemui Rasulullah.
Betapa sedihnya Rasulullah melihat keadaan sahabatnya itu Ketika Abu Bakar hadir di hadapan dirinya. Seketika Rasulullah mendekap, memeluk Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar menghibur Rasulullah, tidak ingin kekasihnya bersedih melihat keadaannya :
“Aku tidak apa-apa Rasulullah,” kata Abu Bakar dengan susah payah. “Hanya saja wajahku sedikit lebam”
Begitulah kisah pembuktian cinta Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia telah membuktikan bahwa Rasulullah lebih ia cintai dibandingkan dirinya sendiri. Terlihat sederhana, namun sangat bermakna. [TM]
Penulis, Ibrahim Dwi Santoso