(Panjimas.com) – Sesampainya di rumah, Muhammad bercerita kepada paman beliau, Abu Thalib, perihal pembicaraan di rumah Khadijah. “Hatiku sangat tersinggung oleh kata-kata Khadijah. Sepertinya dia memandang remeh keluarga kita,” ucap Muhammad.
Atiqah marah mendengar cerita pemuda jujur itu. Beliau memang cepat naik darah kalau kehormatan Bani Hasyim merasa direndahkan. “Aku akan mendatanginya!” cetus Atiqah sambil bangkit berdiri lalu pergi.
Tak berapa lama Atiqah tiba di rumah Khadijah. Beliau langsung menegur wanita kaya raya itu. “Wahai, Khadijah, jika dirimu punya harta kekayaan dan kebangsawanan, maka kami pun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Mengapa dirimu menghina putra saudaraku?”
Khadijah terkejut dengan kata-kata lantang Atiqah. Beliau tak menyangka sama sekali kalau apa yang diucapkan kepada Muhammad dianggap sebagai penghinaan. Beliau berdiri menenangkan hati sahabatnya. “Siapakah gerangan yang berani menghina keluarga dan keturunanmu, wahai Atiqah? Jujur saja kukatakan kepadamu bahwa diriku sendirilah yang kumaksudkan kepada Muhammad, keponakanmu. Bila ia mau, aku bersedia menikah dengannya. Namun bila tidak, maka aku berjanji tak akan bersuami lagi hingga mati!” tegas Khadijah dengan mata berkaca-kaca.
Ucapan itu membuat Atiqah terdiam. Beberapa saat kemudian wajah kedua wanita bangsawan itu sama-sama berubah cerah, sumringah. Percakapan mereka menjadi lembut dan serius. “Tapi, Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh Waraqah bin Naufal, sepupumu?” tanya Atiqah, “jika belum, cobalah meminta pertimbangan beliau dahulu.”
“Dia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, agar beliau mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum di mana sepupuku diundang. Di sanalah nanti kita adakan majelis khitbah,” kata Khadijah seolah-olah sedang mengatur siasat. Namun sejatinya beliau yakin bahwa Waraqah menyetujui, karena orang itulah yang pernah menafsirkan mimpi bahwa Khadijah akan bersuamikan Muhammad, Nabi Akhir Zaman.
Atiqah pulang membawa kelegaan hati. Beliau merasa bahagia dan segera menyampaikan kabar baik ini kepada sanak keluarga. Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, semuanya diberitahu. Keluarga Bani Hasyim gembira dibuatnya.
Dalam pada itu, di keluarga Khadijah sedang ada pembicaraan. Putri Khuwailid dengan hati-hati berkata kepada Waraqah, “Wahai sepupuku, bagaimana aku akan menolak Muhammad, padahal ia seorang yang sangat amanah, berakhlaq mulia, keturunan bangsawan pula? Terlebih lagi pertalian kekeluargaannya luas, bagaimana aku akan menolaknya?”
“Engkau benar, Khadijah. Namun, bukankah ia tak berharta,” Waraqah beralasan.
“Kalau ia tak berharta, maka hartaku cukup. Aku tak perlu lagi darinya. Aku mohon tolong kepadamu untuk menjadi waliku, nikahkanlah aku dengan Muhammad!” Khadijah menyerahkan urusannya kepada Waraqah.
Waraqah bin Naufal menemui Abu Thalib. Beliau memberitahukan bahwa pihak keluarga perempuan sudah bermufakat merestui pernikahan Khadijah dengan Muhammad. Saat itu pula besarnya mahar disepakati, yaitu lima ratus dirham.
Insya Allah bersambung. [IB]