(Panjimas.com) – Di awal tahun 595 M, para saudagar Makkah mengumpulkan kafilah musim panas sebagai persiapan ekspedisi dagang ke Syiria. Demikian pula Khadijah, beliau sudah menyiapkan komoditas dengan rapi. Namun ada satu hal belum berhasil didapati. Ialah seorang lelaki yang akan beliau amanahi sebagai wakil. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Khadijah adalah wanita rumahan, beliau biasa mengamanahkan ekspedisi dagang kepada orang kepercayaan.
Sebenarnya, beberapa orang sudah disarankan untuk mengemban amanah itu. Tapi Putri Quraisy tak menerima satu pun dari mereka. Hal ini menjadi perbincangan orang hingga terdengar oleh Abu Thalib, paman Muhammad.
Mendapat berita adanya sebuah peluang kerja yang menjanjikan, terlintas di benak abu Thalib sosok sang keponakan yang berkepribadian mulia, beliau berniat akan merekomendasikannya kepada Khadijah. Muhammad yang ketika itu berusia 25 tahun dirasa sangat layak mendapatkan kehormatan tersebut. Meski beliau tahu bahwa pemuda jujur itu belum memiliki pengalaman untuk pekerjaan seperti itu, sebagai paman, Abu Thalib yakin Muhammad akan mampu melaksanakannya dengan baik, dengan bekal bakat dan semangatnya yang kuat untuk terus belajar.
Akhirnya, tak berlama-lama, tanpa meminta persetujuan Muhammad terlebih dahulu, Abu Thalib mengutus Atiqah, saudara perempuan beliau, untuk pergi menemui Khadijah guna menyampaikan penawaran itu. Maka pergilah Atiqah ke rumah sang saudagar.
“Muhammad?” Khadijah bertanya dalam hati. Beliau teringat tafsir mimpi yang pernah disampaikan Waraqah bin Naufal. Sosok yang dilukiskannya waktu itu persis dengan Muhammad yang digambarkan oleh Atiqah saat ini. Bahwa pemuda itu dari suku Quraisy, dari Bani Hasyim, akhlaqnya terpuji, berbudi pekerti tinggi. Degub jantung sang saudagar berdetak lebih cepat, ada rasa yang sulit dieja dengan kata di relung qalbu sana.
“Baiklah,” Khadijah memberi jawaban kepada Atiqah, “aku terima Muhammad, dan terima kasih banyak atas bantuannya. Semoga barakah Allah dilimpahkan untuk kita.”
Amat cerah wajah Khadijah dengan senyum mengembang di wajah. Di balik itu ada ucapan yang beliau sembunyikan karena malu untuk mengungkapkan. Terbayang oleh beliau, pemuda bernama Muhammad itu akan menjadi suami tercinta.
Suatu hari Muhammad mendatangi rumah Khadijah dan mendapat sambutan ramah. “Wahai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu datang kemari?”
“Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami sangat membutuhkannya guna mencarikan calon istri bagi anak saudaranya yang yatim,” jawab Muhammad dengan pandangan menunduk penuh kerendah-hatian.
Putri Makkah menatap sang pemuda dengan takjub. “Oh, begitukah…? Muhammad, upah itu sedikit, tidak cukup memenuhi kebutuhan yang engkau maksud,” Khadijah berhujjah, “tapi tak mengapa, biar aku sendiri yang mencarikan jodoh untukmu.”
Khadijah diam sejenak. Hening, syahdu suasana rumah saudagar kaya raya itu. Baru sesaat kemudian, “Aku hendak menikahkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab yang baik hatinya, kaya akan harta, diidamkan oleh banyak pembesar Arab dan negeri-negeri lain namun ditolaknya. Kepada dirinya aku akan mengajakmu.”
Ucapan Khadijah kembali terhenti. Beliau menunduk. Beberapa saat kemudian diteruskanlah, “Akan tetapi sayang sekali, ia dahulu pernah bersuami… Namun andai saja engkau mau menerimanya, ia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu.”
Diam, tiada jawaban terucap dari lisan Muhammad. Suasana semakin hening, syahdu.
Muhammad Al Amiin, pemuda jujur berbakat berkepribadian mulia itu mohon diri, pamit pulang.
Insya Allah bersambung. [IB]