(Panjimas.com) – Bicara tentang sejarah pengembaraan, mungkin nama yang akrab di benak Muslim Indonesia adalah Marcopolo. Padahal sejatinya, dunia Islam memiliki seorang tokoh pengembara/penjelajah ulung di abad ke-14. Beliau adalah Ibnu Batutah. Bahkan beliau diakui sebagai pelopor penjelajah pada abad tersebut.
Ibnu Batutah lahir pada 1304 M dan wafat pada 1369 M. Umur itu beliau isi dengan melakukan pengembaraan ke berbagai pelosok bumi. Muslim asal Maroko ini diakui sebagai penjelajah nomor wahid abad ke-14. Seorang Marcopolo pun tak layak disetarakan dengan beliau. Terlebih dalam hal angka perjalanan, Ibnu Batutah jelaslah juara tak terkalahkan.
Mengembara, bagi Ibnu Batutah adalah jiwa. Salah satu motivasi beliau melakukan pengembaraan adalah demi mengenal berbagai karakter bangsa-bangsa di dunia, terutama di dunia Islam. Dengan begitu, berbagai ilmu dan kebijaksanaan beliau dapatkan.
Setiap daerah yang disinggahi Ibnu Batutah memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang beragam. Maka selama pengembaraan, beliau menyaksikan aneka peristiwa, tradisi, bahasa, maupun aneka flora dan fauna yang tak bisa dijumpai di tanah tumpah darah sendiri, Maroko.
Sungguh bukan perkara remeh-temeh, pada zaman dimana moda transportasi masih sangat sederhana, Ibnu Batutah berhasil menempuh perjalanan sejauh 75.000 mil. Sejarah mencatat bahwa dalam jarak itu, beliau menapakkan kaki di lebih dari 40 negara. Lama pengembaraannya pun tak bisa dibilang singkat, ibnu Batutah menghabiskan waktu 30 tahun lamanya.
Sejarah peradaban dunia belum pernah mencatat angka pengembaraan setinggi yang ditempuh Ibnu Batutah. Artinya, tiada seorang pun tokoh ekspedisi dunia pada waktu itu yang mampu mengadakan perjalanan seperti yang beliau lakukan.
Sebuah buku berjudul Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib Al-Amsar wa ‘Afa’ib Al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat Tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) pun ditulis oleh Ibnu Juzai, seorang sarjana Maroko. Karya tersebut ditulis berdasarkan penuturan langsung Ibnu Batutah tentang pengalaman pengembaraan beliau. Dan penulisan ini dilakukan atas prakarsa Sultan Abu Iyan, raja Maroko waktu itu.
Buku tersebut memuat catatan perjalanan internasional Ibnu Batutah yang memukau. Isinya terdiri dari berbagai peristiwa, waktu pengembaraan, serta catatan-catatan penting Ibnu Batutah selama mengembara.
Kota dan negara yang sempat disinggahi Ibnu Batutah di antaranya, Iskandariyah, Mesir, Palestina, Syam, Mosul, Syiraz, Basra, Yaman, Oman, Baghdad, Kuffah, Diyarbakr, Istirkhan, Delhi, Afganistan, Sarajevo, Bukhara, Cina, Andalusia, Makkah, Madinah, Mali, serta Maladewa. Bahkan sejarah mencatat bahwa Ibnu Batutah pernah singgah di Indonesia.
Di Indonesia, kala itu kapal Ibnu Batutah terdampar di pantai wilayah Kerajaan Samudera Pasai di pulau Sumatra. Saat itu Samudra Pasai dipimpin oleh Sultan Mahmud Malik Zahir. Ibnu Batutah pun berkenalan dengan bangsa dan keadaan alam Pasai. Dan ternyata di sana beliau menemukan kesan kebaikan. Temuan tersebut beliau gambarkan demikian:
Samudra Pasai adalah negeri yang hijau dengan kota pelabuhan yang besar dan indah.
Kedatangan Ibnu Batutag mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pemerintah setempat.
Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan Hukum Syari’at Islam. Berpribadi sangat rendah hati, biasa berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya. Sultan memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu keislaman kepada ulama.
Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan, dan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit pemerintah.
Namun kala itu, daerah pedalamannya masih dihuni masyarakat non-Muslim. Ada beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, diantaranya bunuh diri massal ketika pemimpinnya mati.
Itulah catatan singkat Ibnu Batutah tentang Samudra Pasai yang terletak di dalam wilayah Nusantara. Maka mestinya, gambaran singkat sosok Sultan Mahmud Malik Al-Zahir menjadi teladan bagi para pemimpin kita. Wallahu a’lam. [IB]