(Panjimas.com) – Di abad ke-11 Masehi, peradaban Islam memiliki seorang ulama besar yang nama beliau sangat masyhur hingga kini. Adalah Imam Al-Ghazali.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafi’i. Beliau lahir di Thus, Persia, 1058 M/450 H. Bila di dunia Islam lebih dikenal dengan Imam Al-Ghazali, di Barat, beliau dikenal dengan nama Algazel.
Al-Ghazali lahir dan dibesarkan di tengah keluarga sederhana, bahkan bisa disebut miskin. Ayah beliau bekerja sebagai tukang pintal benang, namun bercita-cita tinggi. Beliau ingin agar kelak sang putra menjadi orang yang alim dan shalih. Lalu benarlah, Allah SWT memberkahi ikhtiar dan doa si pemintal benang. Kala dewasa, Al-Ghazali menjadi ulama, pakar pemikiran, ahli teologi Islam, yang andal dan berperan besar bagi kemajuan peradaban manusia.
Salah satu keunggulan Imam al-Ghazali adalah pada daya ingat yang sangat kuat. Beliau juga dikenal bijaksana dalam berhujjah (berargumen), sehingga digelari dengan Hujjatul Islam. Imam Al-Ghazali sangat dihormati di dua dunia Islam, yaitu Saljuk dan Abbasiyah, yang merupakan pusat kebesaran dan kemajuan Islam kala itu.
Sebagai seorang Imam yang menguasai aneka bidang ilmu dan berkedudukan tinggi di masyarakat, Imam Al-Ghazali tetap bertahan dalam gaya hidup yang zuhud, meninggalkan segala kemewahan dunia. Imam Al-Ghazali tak segan menjalani pengembaraan demi menguasai ilmu secara lebih mendalam.
Sebelum mengembara, Imam Al-Ghazali telah terlebih dahulu memelajari karya ulama sufi ternama, yaitu Al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Sang Imam melakukan pengembaraan selama 10 tahun, dan menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat suci dan bersejarah milik dunia Islam, seperti, Makkah, Madinah, Jarusalem, dan Mesir.
Al-Ghazali sudah terdidik hidup sederhana semenjak kecil. Orang tua beliau selalu berupaya menanamkan akhlaq mulia, sehingga beliau tumbuh sebagai seorang yang rendah hati dan sangat membenci kesombongan dan riya’.
Pendidikan di tingkat dasar diperoleh Al-Ghazali secara gratis dari beberapa guru. Hal ini disebabkan keterbatasan ekonomi orang tua. Walau gratisan, dalam pendidikan tersebut, beliau berhasil mengusai Bahasa Arab dan Parsi dengan baik. Dan oleh karena ketertarikan yang mendalam akan ilmu, beliau pun kemudian memelajari ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan memahami pendapat-pendapat keempat Imam Mazhab hingga benar-benar mampu diandalkan dalam berbagai bidang keilmuan. Hingga kemudian, beliau diamanahi jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, yakni pusat pengkajian tinggi di Baghdad. Suatu jabatan yang hanya pantas diduduki oleh seorang yang menguasai ilmu secara luas dan mendalam.
Guna mengikat ilmu-ilmu yang beliau miliki, semasa hidup, Imam Al-Ghazali mengagendakan diri menulis beberapa kitab. Karya beliau yang paling terkenal sampai sekarang adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu Agama). Kitab tersebut beliau tulis saat menjalani pengembaraan. Ia merupakan sebuah kitab yang memuat hikmah nan begitu luas dan dalam, yang sangat menginspirasi banyak kalangan dari zaman ke zaman, baik di dunia Islam maupun Barat.
Selain Ihya Ulumuddin, karya-karya Imam Al-Ghazali yang lain diantaranya, Kimiya As-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Misykah Al-Anwar (The Niche of Lights), Maqasid Al-Falasifah, Tahafut Al-Falasifah, Al-Mushtasfa min `Ilm Al-Ushul, Mi`yar Al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge), Al-Qistas Al-Mustaqim (The Just Balance), dan Mihakk Al-Nazar fi Al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).
Karya-karya Sang Imam tersebut sempat menginspirasi dan memengaruhi beberapa ilmuwan besar di dunia Barat dan Islam. Diantara mereka adalah, Ibnu Rusyd, Nicholas of Autrecourt, Aquinas, AbdulQader Bedil, Descartes, Maimonides, Ramón Martí, Fakhruddin Razi, Ahmad Sirhindi, dan Shah Waliullah.
Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M dalam umur 52 tahun, dan dimakamkan di sana, di tanah kelahiran Sang Hujjatul Islam. Wallahu a’lam. [IB]