PANJIMAS.COM – Betapapun beratnya ujian hidup, seorang muslim harus tetap bertauhid kepada Allah Ta’ala. Sadisnya siksaan penjara dan ganasnya intimidasi rezim yang mengancam nyawa sekalipun, tak boleh membuat para aktivis, pejuang dan mujahid Islam mengorbankan aqidahnya. Dalam kondisi nyawa terancam diujung bedil maupun setrum, harus diteguhkan dalam jiwa bahwa “Cukuplah Allah sebagai Pelindung!!”
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ وَيُخَوِّفُونَكَ بِالَّذِينَ مِنْ دُونِهِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) yang selain Allah? Dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak seorangpun pemberi petunjuk baginya” (Qs Az-Zumar 36).
Kekuatan aqidah seperti itu ditulis Buya Prof Dr Yuhanar Ilyas dalam rubrik Khazanah REPUBLIKA, berikut ikhtisarnya:
Saat menulis Tafsir Al-Azhar Surah Az-Zumar ayat 36 Buya Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di penjara.
“Bukankah Allah cukup sebagai Pelindung hamba-Nya…” Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati. Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964, sebagai berikut:
…Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Hamka tetap dengan pendirian, bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya…
“Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya.
Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.
Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, “Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini,” ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, “Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah!”
“Mengapa,” tanya saya.
“Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan Bapak, Bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati,” jawabnya dengan berlinang air mata.
“Bapak sangka tape recorder,” jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan.
“Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik,” kata anak itu.
Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di tahanan, Buya Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. [AW/Infaq Dakwah Center]