(Panjimas.com) – Adalah bukti bahwa kebahagiaan bukan terletak pada harta benda dunia. Kebahagiaan letaknya di hati. Dan kebahagiaan yang hakiki, yang kekal abadi, hanyalah kebahagiaan milik diri yang Allah SWT tunjuki.
Mari kita simak satu contoh yang menjadi bukti aksioma di atas. Dulu, pada zaman Rasulullah SAW, ada seorang pemuda bangsawan kaya raya. Ia hidup bergelimang harta bersama orang tuanya. Namun sayang keluarganya menganut agama jahiliyah, demikian pun dirinya.
Hingga suatu ketika, dakwah Islam terdengar olehnya, pemuda yang memiliki pakaian seharga dua ratus dirham yang pada masa itu tergolong sangat mahal pun merasakan getar kesepahaman, hingga mendorongnya untuk berani menyatakan diri sebagai muallaf. Allahuakbar!
Keputusan Mush’ab meninggalkan agama keluarganya dan menyandarkan dirinya ke pelukan Islam, menghadirkan cobaan yang tak tanggung-tanggung dari Allah SWT. Pemuda hedonis ini pun harus menerima hukuman dari keluarganya. Sebab apa, Saudaraku? Sebab ia beriman kepada kebenaran.
Tubuh Mush’ab diikat hingga berhari-hari. Tapi sekali lagi, kebahagiaan bukan terletak pada materi, ia lataknya di hati. Hati yang mendapat sorotan cahaya Islam. Maka meski secara kasat mata sang pemuda sedang tersiksa, tapi hatinya sedang mencecap rasa manisnya iman. Hingga ia pun tetap berhtahan pada pendirian.
Sebenarnya Mush’ab sudah merahasiakan keimanannya. Ia masuk Islam secara diam-diam. Tapi Allah berkehendak ada seorang kafir yang mengetahuinya dan melaporkan sang pemuda kepada keluarganya.
Pada saat dihukum ikat, Allah SWT menolong Mush’ab untuk bisa melepaskan diri, lalu ia pun pergi. Dan singkatnya, bersama para shahabat lain, kemudian ia berhijrah ke Habasyah.
Tak menetap seterusnya di negeri seberang, Mush’ab yang kini pola hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat, kembali ke Madinah. Ia menikmati kebahagiaan hati yang sesungguhnya dengan hidup penuh kezuhudan.
Suatu ketika Nabi SAW menangis haru karena melihat Mush’ab dengan pakaian yang lusuh bertambal-tambalan. Penampilannya tampak mengenaskan, namun hatinya penuh kebahagiaan. Itulah Mus’ab setelah masuk Islam.
Sebagai pemuda pemberani, Mush’ab tak ketinggalan dalan pertempuran. Dalam Perang Uhud, ia bertugas di garis depan sebagai pemegang Panji Islam. Dan pada momen inilah ia memerolah kemuliaan yang amat sangat. Ia gugur sebagai syuhada dengan menit-menit terakhir yang sangat mengharukan dan mengobarkan semangat bagi para shahabat yang lainnya.
Mush’ab sang pengibar Panji Islam tak mau menjatuhkan bendera yang berada di tangannya walau bagaimana pun keadaannya. Pada menit-menit terakhir itu, musuh mendekat, menyerangnya dengan pedang panjang. Lengan tangan pemegang bendera menjadi sasaran. Dan… benarlah, lengan itu terlepas dari tubuh setelah pedang menebasnya. Namu Panji Islam harus tetap dikibarkan. Mush’ab masih punya satu tangan. Diraihnya tiang bendera dan dipegangnya kuat-kuat. Rasa sakit tidaklah penting baginya. Ya, sakit bukan hal penting untuk dirasa. Yang terpenting adalah Panji Islam berkibar jaya.
Hingga kemudian, tak lama, pedang musuh pun menebas lepas kembali lengan Mush’ab yang tinggal satu-satunya. Tapi, Allahuakbar… Panji Islam harus tetap berkibar!
Dengan kedua tangan yang terpotong, Mush’ab masih berusaha memertahankan kibaran Panji Islam. Ia mendekap tiang bendera dengan sisa lengan yang ada. Ia dekap tiang bendera di dadanya dengan cinta yang membara. Cinta kepada Allah SWT, Rasul SAW, Islam yang merupakan rahmah untuk seluruh alam, yang merupakan sistem penyelamat kehidupan.
Hingga kemudian musuh terus menyerang, dan terjatuhlah Mush’ab. Tubuh sahaja Mus’ab bin Umair yang tak lagi kaya akan harta benda namun sangat kaya akan hati yang mulia, jatuh ke tanah. Dan itu bukan masalah baginya. Sekali lagi, itu bukan masalah baginya.
Bukan masalah! Karena pada saat itu shahabat lain sontak meraih tiang bendera dan melanjutkan peran mulia Mush’ab. Maka hingga sang pemuda zuhud, Mush’ab bin Umair syahid, Panji Islam tetap berkibar dengan gagahnya. Dan pastinya, Mush’ab menjadi insan yang sangat bahagia, selamanya. Wallahu a’lam. []