(Panjimas.com) – Ketenaran atau popularitas paras tampan atau cantik jelita, hingga orang, dengan berbagai cara mencari dan memilikinya. Entah kafir, entah mukmin, kebanyakan mereka merindukannya. Namun ternyata bila kita tengok ke belakang, para salaful ummah yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai generasi yang lebih mulia ketimbang setelah-setelahnya, di mata mereka, ketenaran tampak sebagai wajah bopeng yang selalu ingin dihindarinya. Berikut ini hanya beberapa contoh saja dari ekspresi-ekspresi salafush shalih dalam memandang ketenaran. Semoga kita mampu menafakkuri dan menemukan pesan mulia dari cuplikan kisah-kisahnya.
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Sittu Duror hal. 45). Dan dalam Syu’ab Al-Iman no 6500, dicatat bahwa beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu. Dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.
Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini? Kata Syaikh Abdul Malik, karena kata ikhlas belum bernaung di dalam hati.
Saudaraku, para imam salaf membenci ketenaran. Mereka bahagia bila nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka bahagia kala tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini sebagai penjagaan atas keihlasan mereka. Mereka khawatir hati akan terfitnah kala mendengar pujian manusia.
Contoh berikutnya adalah perilaku As-Sikhtyani. Berkata Hammad bin Zaid berkisah bahwa beliau pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani). Kala itu beliau diajak melewati jalan-jalan alternatif. Beliau heran, bagaimana As-Sikhtyani kenal jalan-jalan sunyi itu? Dan ternyata beliau biasa melewatinya agar tak dilihat banyak orang, karena takut mereka akan mengenal beliau.
Ditulis dalam kitab As-Siyar bahwa Imam Ahmad mengatakan, “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. Lalu ketika sampai berita kepada beliau bahwa manusia banyak berdoa untuk beliau, maka Sang Imam berkata, “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj.” Oleh karena hal yang sama, beliau pun pernah berkata, “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya.”
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya yang bernama Abu Bakar, ketika mendapati kabar bahwa manusia memujinya, “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia.”
Kembali lagi ke kitab Sittu Duror, Hammad berkata, “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka aku perkata padanya, ‘jalan itu yang lebih dekat’, maka Ayyub menjawab, ‘saya menghindari majelis-majelis (keramaian) manusia.”
Dalam kitab yang sama dituliskan pula bahwa Yazid Al-Aswad merasa tidak tenteram dengan ketenarannya karena diketahui banyak orang akan kemaqbulan doa beliau. Hal itu mendorong beliau berdoa kepada Allah agar diwafatkan, demi terhindar dari ketenaran. Bagi Yazid, ketenaran adalah penyakit berbahaya yang harus beliau hindari meski dengan meninggalkan dunia ini. Masya Allah, inilah akhlak salaf.
Dalam Sifatus Sofwah dicatat bahwa Ali bin Husain biasa memikul tepung pada malam hari untuk dibagikan kepada faqir miskin. Beliau sengaja melakukannya pada kesunyian malam
Agar tidak disaksikan orang.
Dikatakan oleh ‘Amr bin Tsabit, “Tatkala Ali bin Husain meninggal, mereka memandikannya dan melihat bekas hitam pada pundaknya. Lalu mereka bertanya, ‘apa ini’, kemudian dijawab, ‘Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah.”
Ibnu ‘Aisyah menyampaikan bahwa beliau pernah mendengar ayah beliau mengatakan, ‘”Saya mendengar penduduk Madinah berkata, ‘kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain.’”
Dalam kitab Az- Zuhud disebutkan bahwa seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari, “Bagaimana sholat malam Engkau?” Maka marahlah Tamim, dan beliau berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (manusia), lebih aku sukai dari pada aku sholat semalam penuh kemudian aku ceritakan kepada mereka.”
Wallahu a’lam. Begitulah ketenaran di mata salaful ummah. Selamat merenungkan… [IB]