Oleh: Ustadz Umar Faruq Lc (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)
(Panjimas.com) – Suatu kali, sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar yang kasar. Di dekat tikar itu ada sehelai sarung, satu sha’ gandum dan ada sebuah kulit yang tergantung di dinding. Umar tidak kuasa menahan cucuran air matanya.
“Apa yang membuatmu menangis, Umar?” tanya Rasulullah saat beliau terbangun. Umar berkata, “Ya Rasulullah, di sana para kisra dan kaisar tidur di atas ranjang bertahtakan sutera dan permata. Sementara Anda di sini tidur di atas tikar yang kasar”.
Beliau hanya menjawab, “Wahai putra Khaththab. Sesungguhnya ranjang para kisra dan kaisar itu ujung-ujungnya adalah neraka, sementara kasurku ini akan berakhir di surga. Apakah engkau tidak rela, bagi mereka dunia dan bagi kita akhirat?”.
Suatu ketika saat beliau bangun, tampaklah bekas tikar di pipi beliau. “Wahai Rasulullah, bila Anda mengizinkan, tentulah kami akan membuatkan tempat tidur yang lebih layak dan lebih bagus untuk Anda”. Namun apa jawab Rasul? “Apalah artinya dunia ini bagiku?,” kata beliau. “Keberadaanku di dunia ini hanya seperti seorang musafir yang bernaung di sebuah pohon, lalu kemudian pergi dan meninggalkannya”.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah memang sangat bersahaja. Beliau menambal sendiri bajunya yang robek, membersihkan rumah, dan memperbaiki perlengkapan atau peralatan yang rusak. Di dalam rumahnya, tidak terdapat banyak perabot. Bahkan, beliau tidur hanya beralaskan anyaman daun kurma, sehingga bekasnya tampak jelas di punggungnya.
Namun semua itu tidak disebut miskin. Karena, miskin merupakan kondisi yang serba kurang, sedangkan Rasulullah hidup dalam keadaan berkecukupan. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menempatkan kehormatan diri pada harta dan kekayaan. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tampilan dan pakaian kalian, tetapi melihat apa yang ada dalam hati kalian”. Kekayaan tidaklah harus diartikan dengan banyaknya harta, tetapi kaya dalam arti hati, yaitu keimanan dan keislaman.
Kesederhanaan yang Rasulullah terapkan dalam kehidupannya sehari-hari, bukanlah karena kemalasan sehingga terlihat lusuh dan kumuh. Rasulullah sangat tidak menyukai hal-hal yang kotor. “Kebersihan adalah sebagain dari iman”. Karena itu, Nabi menyisir rambutnya yang berombak hingga ke bahu, bersiwak lebih dari tujuh kali setiap hari, dan sering menggunakan wewangian.
Kesederhanaan juga tidak membuat seseorang menjadi lemah, Nabi menegaskan, “Mukmin yang kuat lebih disukai daripada mukmin yang lemah”.
Lawan dari sederhana dan bersahaja adalah berlebih-lebihan. Islam sangat membenci hal ini. Sebab dalam segala hal, sesuatu yang berlebih-lebihan itu pasti akan mendatangkan mudharat dan bisa membahayakan jiwa.
Oleh keadaan yang demikian inilah Allah dan Rasul-Nya mengarahkan orang-orang yang beriman untuk hidup dalam kebersahajaan dan sederhana dalam setiap gerak langkah hidup mereka. Allah SWT berfirman:
وَلا تُسرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (١٤١)
“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’aam 6 : 141)
Perintah untuk hidup sederhana dan bersahaja tersebut secara umum telah diperingatkan Allah dan Rasul-Nya; tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat konsumtif; akan tetapi juga meliputi masalah budi pekerti dan masalah ibadah.
Untuk hal-hal yang bersifat konsumtif secara umum Allah peringatkan dengan firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf 7 : 31)
Hal yang demikian itu secara tersirat dan tersurat juga dapat kita lihat dalam perintah Allah agar kita tidak membelanjakan harta dengan boros, tapi juga tidak pula boleh berlaku pelit atau kikir. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (٦٧)
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan (boros) dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan 25 : 67)
Bila hati kita sudah condong kepada dunia, hanya terpikir kepada bisnis, sangat bernafsu kepada harta, maka bacalah kembali kehidupan Rasulullah. Hati ini akan lebih tentram, lebih damai. Nafsu kita akan sedikit tertahan. Kehidupan beliau menjadi penawar hati yang sedang membara mengejar dunia. [Edt; GA]