(Panjimas.com) – Isu Negara Islam, radikalisme dan terorisme yang ditayangkan hampir setiap hari di media massa nasional setidaknya mampu membentuk opini di masyarakat, khususnya mereka yang awam terhadap gerakan Islam, untuk mencurigai setiap hal yang berkaitan dengan aktivitas keislaman.
Di kampung-kampung, pasca hebohnya pemberitaan setiap gerakan Islam, masyarakat menaruh kecurigaan terhadap gerakan-gerakan yang selama ini menuntut diberlakukannya sistem Islam dalam pemerintahan, menyuarakan tegaknya syari’at Islam, dan menuntut dihentikannya kedzaliman global yang dipertontonkan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya.
Apalagi, dalam pemberitaan tersebut selalu digambarkan bahwa mereka yang terlibat dalam terorisme menggunakan atribut-atribut seperti bendera bertuliskan kalimat syahadat , jilbab panjang dan bercadar bagi perempuan, celana cingkrang, berjanggut dan jidat hitam bagi laki-laki.
Tak hanya itu, isu tersebut juga “sukses” membuat aktivis Islam sibuk menangkis tudingan bahwa mereka bukan bagian dari gerakan Islam yang terlibat Terorisme. Klarifikasi terhadap tudingan bahwa mereka bukan bagian dari terorisme sah-sah saja. Tapi, setidaknya klarifikasi itu tidak diiringi dengan kata-kata yang terkesan sok dan arogan, dengan mengatakan bahwa gagasan negara Islam adalah “ide kampungan”.
Katakanlah jika tidak setuju dengan ide negara Islam atau label negara Islam, setidaknya tak perlu mengeluarkan kata-kata yang terkesan arogan dan merasa paling paham soal konsep bernegara. Apalagi, isu ini kuat dugaan adalah rekayasa intelijen yang ingin memberangus ide-ide Islam.
Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam yang terkesan mengidap inferiority complex alias minder dengan identitas Islam. Mereka, para politisi yang menyatakan berasal dari “partai Islam” selalu mengelak jika dituding ingin menegakkan syari’at Islam. Seolah-olah syari’at Islam adalah momok menakutkan dan sebuah boomerang yang bisa menghancurkan karir politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya.
Islam tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena itu bagi mereka, politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman. Ironisnya, koor para politisi Islam itu disambut meriah oleh para politisi dan pengamat politik sekuler dan liberal.
Atas nama persatuan dan kesatuan, siasat politik dan toleransi, banyak elit-elit politik Islam yang menghindar jika dituding sebagai bagian dari kelompok yang mempunyai agenda penegakkan syari’at Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Seolah-olah “cap” sebagai penegak syari’at Islam akan melunturkan citra politiknya dan membuatnya terasing dari pentas politik.
Terkait dengan hal ini, Allahyarham Mohammad Natsir, tokoh Partai Masyumi menyatakan:
“Orang yang tidak mau mendasarkan negara itu kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya (dengan tidak sadar atau memang disengaja) telah berlaku dzalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya di Indonesia 20 kali lebih banyak, lantaran tidak menggugurkan sebagaian dari peraturan-peraturan agama mereka (agama Islam). Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, yang sama-sama hal itu tidak berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, hanya semata-mata lantaran takut, kalau si minoritas itu “tidak doyan”. Ini namanya “staatkundige”, demokrasi tunggang balik”.
Nasehat bagi mereka yang “takut atau terkesan malu-malu” untuk menegakkan syari’at Islam juga disampaikan oleh Allahyarham Buya Hamka. Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menyatakan:
“Sebagai Muslim, janganlah kita melalaikan hukum Allah. Sebab, di awal surah Al Maa-idah sendiri yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘uqud (janji). Maka, menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘uqud yang terpenting diantara kita dengan Allah. Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah boleh sekali-kali kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang kita dapat capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan beban kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, dzalim, fasiklah kita kalau kita pecaya bahwa ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah”.
“Jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syariat Islam dalam negara yang kamu kuasai itu? Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang, bahwa cita-cita kami memang itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang digariskan Tuhan dalam Al-Qur’an itu kita pungkiri?”.
“Dan kalau ditanya orang pula, tidaklah demikan dengan kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang digolongkan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam? Jawablah dengan tegas, “Memang akan kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil”.
“Kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari Kitab-kitab Suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia”.
“Katakan itu terus terang, dan jangan takut! Dan insaflah, bahwa rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus menerus dari kaum penjajah selama beratus tahun. Sehingga, orang-orang yang mengaku beragama Islam pun kemasukan rasa takut itu…”. (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 6)
Demikian nasihat M Natsir dan Buya Hamka.
Sebagai umat Islam, apalagi aktivis Islam, kita harus percaya diri bahwa Islam-lah yang cukup dan cakap sebagai aturan dalam mengelola bangsa ini. Apalagi, cita-cita para as-saabiqunal awwalun bangsa ini dalam memerdekaan negeri ini adalah agar hukum Islam bisa ditegakkan, bukan hukum buatan manusia apalagi hukum buatan kolonial.
Cita-cita menegakkan Islam harus terus disuarakan dan diperjuangkan. Karena, perjuangan menegakkan syari’at Islam adalah perjuangan akidah, bukan perjuangan tawar menawar yang bisa dikompromikan.
“Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal; mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat) tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan…,” demikian ujar Buya Hamka. [GA/aw/IP]